Belajar dari Kritik

Orang sekarang banyak yang anti kritik. Mereka menginginkan senantiasa dipuji, sampai muncul istilah ABS (Asal Bapak Senang). Pujian membuat mereka bangga seakan tidak ada sedikit salah pun. Mereka merasa puas dengan apa yang mereka lakukan sendiri.

Pada akhirnya tidak ada upaya melakukan perbaikan diri. Orang yang memuji diberikan balasan uang, kedudukan, kehormatan dan sejenisnya.

Secara tidak sadar, pada saat bersamaan, orang yang tidak mau mengkritik dan senang dipuji melakukan kesalahan yang sangat patal. Terkadang posisi yang lebih rendah dalam status sosial membuat seseorang rikuh pakewuh. Ia merasa kritik yang disampaikan akan menyakitkan hati.

Seorang istri terkadang tidak berani menyampaikan apa adanya kritik untuk suami, anak untuk bapak, siswa untuk guru, rakyat untuk pemerintah, dan seterusnya. Mereka merasa lebih baik bersabar dari kesalahan orang yang lebih tinggi dari mereka, sampai muncul kesadaran dari yang bersangkutan.

Hal ini adalah kesalahan berfikir. Pada saat ia berfikir untuk tidak menyakiti orang lain, ia sebenarnya sedang membiarkan orang yang ia hormati, bahkan cintai sakit dengan sakit yang panjang. Di sisi lain, ia juga membiarkan dirinya berada dalam kedholiman orang lain. Hatinya berontak tapi ia tidak melakukan apa-apa.

Maka kondisi apa yang lebih jelek dari mereka yang sudah tidak bisa lagi menghargai dirinya. Ia membiarkan kemuliaan yang sudah diberikan Allah seakan tidak berharga sama sekali.

Keadaan ini tentu tidak akan terjadi jika budaya belajar dari kritik berkembang di masyarakat kita. Kita bisa menilai kritik sebagai kejujuran yang bisa membangun. Tentu saja kritik tadi disampaikan dengan cara yang baik.

Seorang mengkritik benar-benar dengan hati yang bersih dan perasaan cinta karena ia tidak rela dengan kesalahan yang dialami oleh atasan atau orang yang dicintainya. Inilah makna da’wah yang tidak hanya dimaknai amal ma’ruf, tetapi juga nahi mungkar.

Menyampaikan amal ma’ruf lebih mudah karena tidak menentang arus dan biasanya dengan bahasa yang relative lembut. Lagi pula terkesan tidak ada penentangan terhadap kondisi masyarakat.

Berbeda hal dengan nahi mungkar. Selain harus punya ilmu yang mendalam untuk menunjukkan kesalahan bersangkutan, bisa memberikan contoh, juga harus mampu menghadapi kemungkinan tekanan dari orang yang dikritik atau dicegah kemungkarannya.

Banyak kisah yang menggambarkan kondisi ini. Mengajak orang rajin belajar relative lebih gampang dari pada melarang orang malas. Maknanya bisa jadi sama. Namun penggunaan bahasa positif dan negative memberikan efek psikologis yang signifikan. Seorang da’i perlu belajar banyak dalam memilih kata.

Dalam hal jika kritik ditujukan kepada kita, maka harus dapat dengan lapang menerima. Merasakan bagaimana orang yang mengkritik begitu mencintai kita.

Mereka begitu perhatian, sampai kepada hal yang kita lupa atau tidak tahu. Dan terkadang, pengamatan dari orang luar tentang diri kita relative lebih objektif daripada kita sendiri yang menilai diri.

Siapapun, sahabat atau musuh yang menyampaikan kekurangan diri kita harus disyukuri bahkan diucapkan terima kasih kepadanya. Tidak salah jika ada untuk memberinya hadiah.

Sungguh, orang besar yang pernah hidup adalah mereka yang bisa lapang dan menjadikan kritik sebagai energi positif. Kritik bukan hanya diterima, tetapi dicari untuk senantiasa memperbaiki diri. Mereka menghindari kegagalan sebelum terjadi, dan meraih kesuksesan lebih cepat.

(Malang, 15 Januari 2008)

Leave a Response