Belajar dari Tantangan Dunia Kerja di India

Tulisan ini dimuat dalam buletin Atase Pendidikan KBRI New Delhi Edisi II, ditampilkan di blog dengan harapan agar bisa berbagi informasi bagi teman-teman yang belum bisa mendapatkan buletin tersebut

Majalah The Week edisi 18 September 2011 mengangkat topik khusus berkaitan dengan  hasil survey The Week IMRB tentang dunia kerja di India pada tahun 2011. Hasil survey tersebut menarik dibahas dalam buletin Sukriya dengan harapan bisa menjadi referensi dan pelajaran bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang dunia ketenagakerjaan.

Kesempatan Kerja di India

Persaingan dunia kerja di India cukup kompetitif. Hal ini dikarenakan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang  terbatas dan ketimpangan sosial yang cukup kentara antara masyarakat kaya dan miskin. Sebagai konsekuensinya, masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi sosial yang strategis.

Kondisi tersebut juga mempengaruhi kehidupan mahasiswa India. Dalam hal menentukan masa depan pekerjaan dan karier, mereka mulai merancangnya dengan baik semenjak masih kuliah.

Dalam hal menentukan masa depan pekerjaan dan karier, mereka mulai merancangnya dengan baik semenjak masih kuliah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Week IMRB terhadap mahasiswa akhir  level bachelor maupun post-graduate, para pekerja kontrak, pekerja tetap dan wirausahawan yang akan memulai bisnis mereka di India, ditemukan beberapa fakta berikut ini.

Pertama, bidang pekerjaan yang paling popular di India adalah Bank, advertising, engginering, design, IT, perusahaan komputer dan financial service. Adapun  bagian yang paling banyak direkrut adalah sales dan marketing.

Dunia asuransi dan pekerjaan “level bawah” kurang berkembang di India. Hal ini dikarenakan bidang asuransi dinilai tidak cukup signifikan dalam menambah jumlah pekerja. Sedangkan posisi pekerjaan level bawah seperti costumer care banyak dialihkan ke Filipina karena dinilai lebih murah dari segi biaya.

Sementara posisi paling prestise dari beberapa pekerjaan tersebut adalah IT karena kebutuhan terhadap tenaga IT hampir terdapat di semua perusahaan. Oleh karena itu, permintaan terhadap tenaga IT meningkat cukup signifikan.

Pada tahun 2011, jumlah permintaan terhadap tenaga IT mencapai 400.000 orang, jauh lebih besar dibandingkan tahun 2008 yang membutuhkan 250.000 orang atau tahun 2009 yang hanya membutuhkan 100.000 tenaga IT saja.

Hanya saja, peluang bekerja di bidang IT mengalami kondisi yang kurang menguntungkan bagi para fresh graduate karena dari sekian banyak kebutuhan terhadap tenaga IT, 50.000 dari mereka yang melamar berasal dari kalangan menengah dan senior yang sudah bekerja di berbagai perusahaan lain sebelumnya.

Kemungkinan fresh graduate bersaing menjadi lebih kecil ketika perusahan-perusahaan sekarang ini tidak hanya mengandalkan masalah kemampuan dalam IT, melainkan juga kemampuan managemen, penjualan, hubungan sosial, termasuk kemampuan dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Kedua, sistem kerja dengan cara kontrak meningkat di India, bahkan untuk posisi strategis sekalipun. Sistem seperti ini tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu, bahkan dinilai menguntungkan kedua belah pihak, baik pekerja, maupun perusahaan.

Dari segi pekerja, mereka menjadi lebih leluasa dalam menentukan masa depannya, misalnya dengan sewaktu-waktu bisa mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Meskipun demikian mereka tetap mendapatkan gaji dan keamanan hidup dari perusahaan.

Adapun dari sisi perusahaan, sistem kontrak dinilai mampu menemukan the right person  untuk posisi-posisi strategis yang mereka perlukan. Perusahaan tidak sekedar mencari orang yang tepat dalam hal kualifikasi pendidikan, tetapi lebih mengutamakan masalah skill, kemampuan melakukan perubahan, jiwa entrepreneur, passion, orientasi, dan kemampuan beradaptasi dengan pekerjaan.

Artinya perusahan sekarang tidak lagi menginginkan orang yang hanya berprinsip asal bapak senang (ABS).  Akan tetapi perusahaan mencari orang-orang yang bisa menjadi pemimpin dan siap mengambil tanggungjawab yang besar.

Bahkan dalam upaya meningkatkan kapasitas karyawan, perusahaan cenderung memindahkan karyawannya ke divisi yang berbeda setiap 18 bulan sekali. Dengan kebijakan tersebut, maka efektifitas kinerja perusahaan bisa ditingkatkan.

Ketiga, diskriminasi antara laki-laki dan wanita dalam hal pekerjaan, terutama berkaitan dengan posisi top managemen masih cukup kentara. Sampai sekarang, hanya sekitar 10 % saja wanita India yang berada pada posisi top management. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Amerika yang sudah mencapai 30-40 % atau UK yang mencapai 20-25%.

Lalu Bagaimana Dengan Indonesia?

            Memperhatikan hasil penelitian tersebut, maka terlihat bahwa India sudah mengalami kemajuan pesat dalam dunia pekerjaan. Mereka sudah mulai “menekuni” bidang-bidang pekerjaan modern terutama yang berkaitan dengan IT dan finansial.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal kesempatan kerja. Sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia juga mengalami kondisi persaingan mendapatkan kesempatan kerja yang cukup kompetitif.  Selain itu, posisi wanita yang memegang posisi-posisi strategis di Indonesia juga  masih terbatas dibandingkan dengan laki-laki.

Hanya saja dalam hal pengembangan dunia kerja dan upaya menyiapkan tenaga siap pakai untuk kebutuhan pasar Internasional, Indonesia masih perlu belajar dari India. Paling tidak ada dua hal yang dilakukan India yang perlu dipelajari,

Pertama, India mulai merambah ke bidang-bidang usaha strategis di era modern seperti finance dan IT. Bahkan mereka berusaha menjadikannya sebagai trendmark dunia usaha yang cukup menjanjikan.

Dalam hal ini, upaya membangun perekonomian nasional yang kuat secara efektif menjadi perhatian khusus mereka. Yang lebih menarik lagi, dengan misi tersebut, India tetap mampu menjaga komunikasi dengan warga mereka yang berada di luar negeri, terutama dari kalangan bisnisman.

Setiap tahun sekali paling tidak para bisnisman tersebut pulang dan berkumpul di India (biasanya momentum tahun baru) untuk bertemu dengan pemerintah guna membicarakan berbagai upaya membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Pada waktu itu, mereka pun mengumpulkan dana untuk membangun berbagai fasilitas layanan publik seperti sekolah, rumah sakit, dan sejenisnya.

Kedua, dalam upaya meraih hasil yang maksimal, India sudah mulai melakukan revitalisasi terhadap dunia pendidikan. Hal yang cukup jelas terlihat adalah dengan penggunaan bahasa Inggris di hampir semua sekolah dan kampus India.

Dengan kemampuan bahasa Inggris tersebut, mahasiswa India tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk bekerja dimana pun di berbagai Negara. Dari sisi wawasan, mereka juga menjadi lebih mudah untuk mengakses berbagai informasi up date tanpa kendala serius.

Lebih dari itu, pendidikan India juga sudah mulai diorientasikan agar tidak hanya sekedar transfer of knowledge atau penguasaan terhadap suatu bidang keilmuan, melainkan sudah mulai berusaha melahirkan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan soft skill yang baik.

Di Indonesia, dari segi kualitas proses pembelajaran sebenarnya tidak jauh tertinggal dengan India. Hanya saja karena sebagian besar mahasiswa apalagi siswa belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, kesiapan mereka untuk bersaing dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja global pun masih perlu “dipersiapkan secara lebih matang” lagi.

Adapun dalam hal pengembangan soft skill, selain penguasaan terhadap bidang keilmuan,  beberapa kampus Indonesia sebenarnya sudah mempunyai program tersebut sejak hampir satu dasarwarsa yang lalu. UGM misalnya sudah mengadakan program soft skill sejak tahun 2003. Hanya saja pengelolaan terhadap program-program sejenis di berbagai kampus di Indonesia belum cukup massif dan intensif.

Meskipun demikian, sejarah pengelolaan organisasi kemahasiswaan di kampus-kampus Indonesia dinilai lebih dinamis dan mampu memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi mahasiswa untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan dan inovasi dibandingkan dengan di kampus-kampus India. Buktinya ada banyak tokoh masyarakat, politik dan negarawan yang lahir dari organisasi-organisasi kemahasiswaan tersebut.

Sayangnya, kondisi sekarang menggambarkan bahwa sejak biaya kuliah mulai mahal, aktivitas organisasi mahasiswa Indonesia di berbagai kampus cenderung menurun. Mahasiswa bahkan terkesan bersikap lebih pragmatis.

Oleh karena itu, berbagai sarana dan kegiatan dalam upaya membekali mahasiswa dengan kapasitas akademik dan kemampuan managerial serta penguasaan soft skill lainnya perlu untuk difasilitasi dan semakin dikembangkan.

Dengan upaya tersebut, kita berharap suatu saat kampus-kampus Indonesia pun akan mampu melahirkan tenaga-tenaga siap pakai untuk dunia kerja Internasional.

 

 

 

Leave a Response