Menjaga Keimanan

Di era ini, alangkah sulitnya menjaga keimanan. Begitu banyak godaan. Kita hampir tidak pernah bisa bernafas karena mendengar, membaca, bahkan menyaksikan kemaksiatan demi kemaksiatan. Tidak hanya orang awam yang tertimpa fitnah ini tetapi juga mereka yang sudah mengenal agama. Hal tentu saja menyebabkan semangat da’wah mereka melemah. Alangkah berat tantangan ke depan.

Manusia seakan menilai tidak ada yang sakral dalam hidup ini. Seorang wanita begitu mudah menyerahkan kehormatannya kepada laki-laki yang bukan suaminya. Dan laki-laki begitu mudah menghancurkan kemuliaan yang ia tidak akan rela jika terjadi pada ibu, saudara atau anak wanita mereka. Duh, alangkah menyakitkan. Perih, dan merintih jiwa menyaksikan berita ini yang sudah dianggap biasa dan angin lalu. Pergaulan laki-laki dan perempuan hampir tidak ada batasnya.

Dalam keadaan demikian, maka pada siapa lagi diri kan mengadu. Hanya Allah saja yang punya naungan. Tempat diri bersimpuh, mengadukan setiap keluhan. Begitu takut jika jurang itu mendekat dan menerkam.

Demikian juga dalam pendidikan keluarga. Aneh melihat masih ada orang yang tersenyum, padahal ancaman begitu besar. Sementara diri hanya bisa menggigil. Ketakutan amat terlalu menghantui. Apalagi seorang ustadz terkenal mengatakan bahwa kondisi tersebut sudah merupakan hal yang lumrah di zaman ini. Ya Rabb lindungan hamba, keluarga dan kaum muslimin dari fitnah ini.

Alangkah sakit hati seorang suami yang mendapatkan istri yang sudah kehilangan mahkota diri atau seorang istri yang mendapatkan suami yang sudah tidak “sempurna” lagi. Orang lain yang tidak berhak telah merebutnya. Seakan tidak sanggup untuk berdekatan dengannya. Menjijikkan. Seorang yang sudah kehilangan kehormatan diri.

Banyak batin yang menjerit. Mereka yang selama ini senantiasa menjaga diri, tiba-tiba menemukan keadaan yang jauh dari harapan. Kebohongan untuk sebuah kemaksiatan. Alangkah hancur hati seakan tidak ada harapan lagi.

Sementara mereka yang terbiasa dengan gelimang dosa. Hati mereka beku. Kaku. Seakan tidak ada kesalahan sedikit pun yang diperbuat. Mereka pun merasa aneh dengan orang-orang yang masih bicara kehormatan.

Padahal sebenarnya langkah mereka diliputi oleh ketidakpastian. Kekusaman jiwa tidak sedikit pun akan memberikan ketenangan di hati. Hanya saja, mereka pandai menipu manusia.

Kemaksiatan yang satu menjatuhkan mereka pada kemaksiatan berikutnya. Selain karena tingkatan-tingkatan kemaksiatan, juga karena ia merasa bisa menemukan ketenangan dalam kemaksiatan.

Padahal hal itu bukanlah ketenangan abadi. Sesaat mereka merasakan. Kemudian setelah itu hambar. Bahkan kesakitan yang amat sangat menyelimuti hati mereka. Jiwa mereka kotor. Dan tidak ada sedikit pun kebaikan yang didatangkan.

Orang yang bersih hatinya akan bertanya. Apa sebenarnya yang dicari dalam hidup ini. Jika hanya karena kesenangan sesaat, duh, alangkah rendah. Toh, setelah datang kemudian berlalu. Dengan begitu agung, langkah dan gerak berada dalam bimbingan Allah.

Sementara mereka yang terjatuh setelah pernah mengecap rasa manisnya iman, akan menjerit dengan teriakan yang keras. Kesakitan menghujam ke dalam jiwa. Mereka ingin menangis sebagaimana ketika jiwanya bersih, tetapi tetap tidak bisa.

Mereka rindu, dan memahami perbedaan ketaatan dan kemaksiatan. Hanya saja, langkah mereka bisa terbagi dua, ada yang tidak bisa keluar dari lingkaran kemaksiatan tadi. Ada yang berlari kemudian merengkuh kebahagiaan bersama Rabb.

Semoga Allah senantiasa menjaga kebersihan hati untuk senantiasa mengingatNya, dan istiqomah dalam ketaatan. Semakin berat perjuangan untuk kebenaran, akan semakin manis rasa di hati. Engkaulah tempat kami memohon dan berserah diri wahai Rabb penguasa jagat. (Malang, 18 Agustus 2008)

Leave a Response