Menulis dan Idealisme

Berulang kali rasanya sempat aku menulis dengan kalimat pembuka, “setelah sekian lama tidak menulis, kini ingin kutumpahkan semua rasa dan ide di dunia ini.” Menulis seakan pada waktu itu menjadi solusi atas berbagai persoalan yang terjadi. Namun tidak berapa lama kemudian, idealisme itu pun dilambun ombak kesibukan.

Begitu sulit rasanya konsisten untuk menjadi seorang penulis. Saya tidak tahu apakah benar-benar karena kesibukan, karena profesi yang kurang menjanjikan, masalah ide, atau faktor lainnya yang lebih bersifat pada kemalasan.

Entahlah, semua bisa benar, tetapi semua juga bisa salah. Jika kesibukan dijadikan alasan, ternyata banyak orang yang begitu sibuk bisa konsiten menulis. Belum lama ini, rektor UIN Malang bahkan mendapat rekor MURI karena beliau merupakan satu-satunya rektor yang konsisten menulis di blog setiap hari.

Dan hal itu tentu saja bukan hal yang mustahil sebenarnya. Justru semakin sibuk seseorang akan semakin pandai ia mengatur waktu dan semakin banyak ide yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Justru mereka yang santailah yang tidak bisa menjadi produktif.

Saya mencoba mengingat-ngingat masa lalu ketika rasanya saya begitu produktif menulis. Ternyata satu point yang saya ingat persis untuk bisa menuangkan ide secara runtun, mudah dipahami dan bisa mengalir dengan indah adalah ketika hati ini bersih dan kita merasa begitu dekat dengan Allah.

Seorang yang ingin benar-benar menulis dan dengan tulisan itu hatinya menjadi tenang, haruslah menjadikan semua atas niat ibadah dan tentu saja menjadi rangkaian da’wah dalam hidupnya untuk memahamkan orang lain tentang suatu persoalan.

Ketika kita sudah memiliki hati yang bersih, maka berbagai persoalan yang muncul bisa dilihat dengan kacamata ruhani. Kita akan melihat persoalan dengan bijak, yang tidak sekedar merupakan luapan emosi. Ada keseimbangan antara semangat dan muatan rasionalitas ilmu dan tentu saja perasaan cinta yang bisa dirasakan dalam tulisan kita.

Tulisan kita benar-benar adalah kejujuran untuk mencari jalan terbaik. Bukan sekedar memenangkan apa yang kita perlukan. Ada kesadaran bahwa kita pun adalah seorang yang sedang belajar menjadi pribadi yang lebih baik.

Tulisan kita dengan pendekatan seperti ini akan bisa memberikan warna di tengah dunia yang katanya serba “modern” atau bangsa yang “demokratis” ini.

Berbagai persoalaan yang bertentangan dengan nurani kita temukan dimana-mana. Manusia telah buta. Rasanya sulit menemukan jiwa yang lembut, yang mudah tersentuh melihat kesulitan orang lain, atau mungkin perasaan malu karena telah mengoyak-ngoyak nilai keadilan.

Kita semua tentu bisa mengukur diri. Mungkin ketika masih kecil kita begitu mudah kasihan pada orang lain. Tetapi kenapa sekarang setelah beranjak dewasa yang seharusnya harus semakin menjadi lebih baik, sering kita berfikir EGP (Emang Gue Pikirin).

Gejala yang begitu berkembang di tengah masyarakat yang selama ini katanya sangat bersahabat. Sadar atau tidak ternyata kita mulai hidup untuk diri kita masing-masing.

Mungkin suatu saat ada perasaan rindu dengan masa lalu ketika hati begitu bersih. Kita bisa merasakan ketenangan pada waktu itu. Tetapi hati yang sudah dirasuki oleh berbagai kemaksiatan tentu sulit tergetar. Tidak mungkin seorang ahli maksiat akan menjadi penggerak perubahan di tengah masyakat ini.

Lihat juga para pejabat kita. Banyak yang tidak malu-malu lagi melakukan kemaksiatan, bahkan dengan kebohongan yang bisa dirasakan oleh mereka yang masih punya nurani. Tetapi mereka tidak malu hanya demi tidak mau dipermalukan.

Padahal siapa yang mempermalukan?. Justru karena bertahan dengan kesombongan itu, mereka selalu menambah-nambah kesalahan yang akhirnya membuat masyarakat jengkel.

Kita rindu kehidupan yang benar-benar dipenuhi idealisme. Kemanapun mencari kita sulit mendapatkan teman perjuangan yang setia bersama dalam kebenaran.

Maka cara paling efektif dan mudah kita lakukan adalah dengan menulis. Menyampaikan berbagai idealisme yang kita miliki. Bukan sekedar kebebasan untuk meluapkan kekesalan, tetapi merupakan upaya agar kita semua bisa kembali ke jalan yang benar.(Palembang, 15 November 2009)

Leave a Response