Menulis dan Kelapangan Dada

Lama diri merenung mencari jalan hidup. Terlalu menekan. Persaingan kian hari kian berat.  Masalah ekonomi menjadi kendala besar. Sementara perjuangan harus tetap dilakukan. Atau memang nasib pejuang yang harus selalu menderita.

Tapi tidak. Pejuang bukan orang yang menderita. Justru mereka yang paling bahagia. Ketiadaan harta bukan masalah. Dikucilkan oleh sebagian masyarakat, masuk penjara, bahkan hilang nyawa pun adalah kesukaan. Pejuang. Selalu hidup dalam senyum dan semangat baru.

Benar kehidupan tidak hanya sebatas renungan dan alam idealis. Hidup adalah kebenaran. Tidak terulang. Tetapi kebenaran adalah tantangan untuk perjuangan.

Cobaan menjadi bukti kekuatan akal dan keimanan seseorang. Adakah muncul ketakutan. Diri berlari ketika kesenangan terancam. Padahal tidak ada yang merugikan kecuali sikap diri saja.

Seorang bermasalah atau tidak adalah masalah jiwa. Setiap bentuk masalah datang. Tetapi orang – orang yang kuat akan cukup proporsional. Ia tahu mana yang sesungguhnya serius dan yang hanya sebatas masalah biasa.

Justru setiap tantangan menjadi keindahan. Disambut dengan suka cita. Waktu ketika diri akan bertambah dewasa.

Ujian  membuat ia menjadi lebih baik. Kesulitan membuat diri kreatif. Kemiskinan menjadikan hati lebih hidup, sakit membuat simpati tumbuh.

Sebaliknya kelebihan dari semua keadaan tersebut bukan apa – apa. Sekedar kesempatan dan anugerah untuk dapat berbagi.

Bagaimana cara terbaik. Demikian diri selama ini sering merenung. Pikiran dan hitungan matematis menumbuhkan sikap pesimis. Ketakutan terhadap kehidupan masa depan.

Lapangan pekerjaan yang semakin sempit. Ilmu yang minim. Dan kehancuran yang kian merebak. Cukup membuat diri kehilangan kendali dan hampir saja terperosok kedalam kehancuran.

Bersyukur renungan diri selama ini senantiasa tercatat rapi. Suara jiwa. Warna. Gejolak terasa menggema. Kita harus menjadi orang yang kuat. Kita akan bisa melakukan sesuatu yang kita yakini.

Apa yang sulit. Sikap menggantungkan diri kepada orang lain saja yang membuat menderita.

Demikian pilihan hidup. Sementara idealisme tetap terpendam. Tidak boleh karena ini adalah modal besar. Untuk menekuni dunia tulisan menulis. Sulit tanpa ilmu yang cukup.

Tetapi harus tetap dicoba. Ada keindahan dan kepuasan yang tidak dapat dirangkai dengan kata. Menulis sebagai pejuang.

Terserah apa yang akan terjadi. Pilihan dunia ini semakin mantap di hati. Berbicara dengan hati, bermain rasa dan logika, dan pikiran – pikiran baru yang dicerna. Menulis sekedar nilai. Jauh sangat berharga dari apa – apa yang dibanggakan semua orang. Andai mereka tahu.

Menulis telah membuat air mata mudah mengalir, hati lapang dan peka. Cinta bersemi untuk sesama. Alangkah indahnya hidup.

Tetapi terlalu banyak pula orang yang kehilangan nurani. Maka kucoba kuketuk hatinya “ tidakkah engkau ingin merasakan sorga dunia?!”

Bandung, 9 Juli 2005

1 Comment

Leave a Response