Mengajar dan mendidik itu pada dasarnya untuk membuat anak didik berfikir. Hampir tidak bermanfaat ketika apa yang dimiliki oleh seorang siswa hanya sebatas bagaimana ia mengetahui atau menghapal konsep yang telah dipahami oleh orang sebelum mereka.
Yang penting adalah bagaimana kemampuan logika anak didik dapat berkembang dengan baik. Artinya bahwa apa yang ia usahakan dapat terpatri dalam pemikirannya bahkan jiwa mereka sehingga dapat digunakan kapan saja ia membutuhkan.
Tidak sebatas itu saja karena nantinya penguasaan terhadap logika suatu kasus akan sangat gampang bagi mereka yang telah terbiasa berfikir untuk menghubungkannya dengan konsep lain atau yang bertolak belakang sekali pun.
Contoh argument ini dapat dilihat pada berbagai asfek kehidupan termasuk juga dengan mempelajari ilmu eksak sari konsep ilmu sosial atau sebaliknya.
Sebenarnya masih banyak alasan pentingnya kemampuan berfikir anak didik. Namun demikian, permasalahan pokok adalah dengan cara apa anak didik tadi dapat selalu berfikir. Dalam menyampaikan analisanya terhadap permasalahan yang muncul ia membawa pemikiran-pemikiran yang orisinil, logis dan sistematis.
Secara lebih keras sebenarnya kita seharusnya memperbaiki system pengajaran yang menjemukan dan tidak menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas anak didik. Proses mengajar harus menumbuhkan kegelisahan dalam jiwa mereka sebagai ungkapan perasaan ingin tahu. Dan ini sifatnya tidak pernah berhenti.
Masalah manajemen yang muncul dari anggapan sebagian orang bukanlah berarti nantinya ketika ilmu itu selalu menimbulkan kegelisahan dengan bentuk ketidaktenangan terhadap upaya pencapaian sesuatu karena ketakutan.
Kedua hal ini sebenarnya sangat jauh berbeda. Hanya saja kadangkala dalam pemaknaan kata sering sulit untuk menemukan persamaan.
Apa yang sebenarnya terjadi akan lebih mudah dipahami ketika diri telah mempunyai kemampuan untuk merasakannya sendiri. Akan ditemukan perasaan puas yang sulit diungkapkan pada setiap bertambahnya ilmu, dalam setiap kata sekali pun. Artinya jelas bahwa kegelisahan itu dipenuhi oleh kepuasan.
Kritik kedua untuk system pengajaran adalah bahan ajar yang tidak up to date. Hal ini diindikasikan oleh pemuatan materi yang berupa teori dengan porsi yang sangat banyak, bahkan hampir tidak pernah menyentuh realitas.
Misalnya saja seorang dosen seharusnya menambahkan pengalaman-pengalaman dan kejadian-kejadian yang berkembang sebagai bahan ajarnya di kelas. Atau mungkin beberapa hasil penelitian mutakhir. Tentu saja dengan tidak meninggalkan teori.
Trasformasi teori tanpa usaha mengkoherensikannya dengan apa yang terjadi di masyarakat dan berbagai tataran riil lainnya yang berkembang sama halnya dengan terlalu membanggakan sejarah nenek moyang sehingga lupa dengan diri sendiri, apalagi untuk menganalisa dan merencanakan apa yang akan dan harus dilakukan ke depan.
Untuk melakukan hal ini diperlukan pendidik yang benar-benar punya komitmen penuh dalam bidang pendidikan. Ia harus berusaha untuk selalu menambah ilmunya karena apabila tidak, bisa jadi anak didik akan lebih tahu.
Apa yang dimunculkan di sini bukanlah maksud agar ada ego seorang pendidik. Ego bukanlah yang didahulukan apalagi sebagai sasaran.
Keberadaannya sah-sah saja sebatas itu mampu meningkatkan gairah untuk menambah pengetahuannya karena dengan kemajaun teknologi di era ini wajar ketika anak didik lebih tahu daripada pendidiknya. Lebih tahu tidak berarti lebih paham dalam pembangunan konsep.
Justru kelebihan anak didik seperti ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk mengkonstruksikan ide-idenya secara lebih kreatif. Penting dibentuk kerjasama yang baik antarmereka.
Hanya saja kerjasama ini bersifat terbatas karena nantinya akan ada sejenis persaingan tersembunyi di antara sesama mereka. Baik pendidik maupun anak didik berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak.
Penjelasan tersebut boleh jadi terkesan sangat utopia. Apalagi ketika kita berusaha melihat keadaan yang berkembang. Rupanya pendidikan bukanlah bidang yang digemari banyak orang.
Dari segi ekonomi sungguh sangat tidak menguntungkan. Sementara yang harus dilakukan oleh mereka yang konsen di bidang pendidikan sangatlah berat sehingga wajar ketika kesungguhan mereka dalam bidang ini kerapkali dipertanyakan.
Dari segi kualitas pun terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai pendidik banyak yang menjadikannya sebagai pekerjaan pelarian, misalnya karena tidak mendapatkan pekerjaan yang dibidang lain yang lebih terjamin akhirnya mereka terjun ke dunia lain. Pekerjaan pendidik bukan lagi dijadikan sebagai niat yang tulus dari dalam diri.
Biasanya meskipun ada yang benar-benar konsen dalam bidang pendidikan, kesadaran tersebut muncul ketika ia telah berkutat dengan bidang ini. Bisa jadi banyak hal yang dilihat, didengar bahkan dialaminya yang membuat jiwa terpanggil.
Bayangkan saja andaikan saja kondisinya berbalik. Anak-anak yang pintar selagi kecilnya sudah mempunyai obsesi yang kuat untuk menjadi pendidik. Alangkah indah dan harumnya pendidikan di negeri ini.
Bangsa Indonesia yang kaya orang-orang pintar tidak akan berada pada posisi bawah dalam peringkat kualitas pendidikan bangsa-bangsa di dunia. Jauh di bawah Negara tetangga lainnya seperti Singapora dan Malaysia yang dulu katanya adalah siswa bangsa kita.
Bahkan Indonesia pun masih berada di bawah Vietnam yang baru bangkit dari perang. Apalah jadinya bangsa ini kedepan bila kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya secepat mungkin.
Tidak seharusnya kita menyalahkan keadaan yang berkembang sekarang ini. Apalagi dengan melakukan personal attack terhadap para pendidik. Bagaimana pun juga jasa mereka tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kemampuan menulis, membaca dan berhitung yang dulunya mereka ajarkan telah membuat banyak orang sukses meskipun belum sepenuhnya dengan menumbuhkan daya kreatifitas dan keinginan mereka untuk selalu berfikir. Masalah ini perlu dicermati lebih seksama.
Harus ada pemikiran yang jernih dan tidak gegabah dalam menilai sesuatu. Apalagi dengan memunculkan vonis dan pernyataan yang tidak bertanggung jawab.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Negara dan segenap rakyat harus berusaha keras untuk memperbaiki keadaan ini. Komitmen bersama harus dibangun.
Jika tidak, maka tidak salah ketika kita sama-sama berteriak “ Negaraku…mengapa tidak kita hapuskan saja pasal 32 UUD 1945 !?”
Yogyakarta, 27 Juli 2004
Benar itu mas,setuju.Sistem pengajaran yang ada saat ini hanya membuat para siswa tak dapat menyentuh nilai pendidikan yang sesungguhnya.Semuanya telah terpola dengan sistem yang tak pernah bertujuan untuk agar siswa bisa memahami apa yang di ajarkan.