Samudra Ilmu

Ilmu adalah samudra luas yang semakin kita menyelam ke dalamnya, semakin kita tidak pernah mampu menemukan akhir.

Ilmu melambangkan keadaan segala sesuatu. Pada setiap apa yang kita lihat bahkan tidak tampak, atasnya terdapat pelajaran yang banyak. Mereka yang memahami ilmu adalah orang-orang yang menggunakan otak dan hatinya untuk berfikir.

Pada satu titik, seorang pencinta ilmu akan menemukan dirinya merasa begitu kecil. Sekian banyak pengetahuan yang dinilai orang sempurna padanya, atau bahkan melahirkan kesombongan di hati menjadi hancur. Ia merasakan bahwa sekian waktu ia lalui hanya mendapatkan sedikit ilmu saja. Kita tidak bisa seperti komputer yang dalam waktu sesaat bisa menyimpan data dengan banyak.

Manusia ingin menjadi intelektual, punya tubuh yang sehat, paham dan mengamalkan ajaran agama dengan baik, pandai merespon persoalan-persoalan sosial yang berkembang sehingga bisa merasakan bagaimana nikmatnya dalam kebenaran dan keseimbangan.

Hidup yang indah. Semua tidak bisa dicapai begitu saja, melainkan membutuhkan proses panjang. Justru proseslah yang menjadikan hidup lebih bermakna.

Hanya saja bagi kebanyakan manusia tidak mampu mengendalikan emosi dan bersifat tergesa-gesa. Pilihan mencari jalan instant menjadi kebiasaan.

Seorang pegawai tanpa kerja keras maksimal dan ingin segera mendapatkan posisi yang lebih baik memberikan sejumlah uang kepada atasan. Pengusaha atau pedagang karena ingin mendapatkan keuntungan yang lebih mengurangi takaran.

Hatta sampai dunia pendidikan yang selama ini dianggap sebagai dunia paling bersih, tidak sedikit siswa dan mahasiswa yang mencontek, atau menjiplak hasil karya orang lain. Dan masih banyak kasus serupa dalam berbagai bidang kehidupan yang begitu memprihatinkan.

Padahal jika mereka merenungi makna ilmu yang sesungguhnya, nyatalah bahwa yang dicari bukan semata hasil, tetapi proses. Proses justru merupakan hasil yang sesungguhnya.

Jika Allah hanya melihat hasil, tentu kita tidak diperintah untuk melakukan sesuatu melalui jalan yang berat. Sangat mudah bagi Allah untuk memberikan kemampuan kepada manusia untuk menyeimbangkan semua potensi dasar manusia.

Yang terjadi justru meraih satu kesempurnaan potensi saja sangat sulit. Dalam bidang keilmuan misalnya. Maka hampir tidak pernah kita menemukan seorang yang mampu menguasai segala bidang ilmu dalam konteks spesifikasinya seperti yang berkembangan sekarang.

Multidisipliner masih mungkin pada beberapa bidang ilmu, itu pun tidak dalam persoalan data, tetapi lebih kepada logika berfikir. Sedikit saja diberikan data yang salah, tentulah kesimpulan menjadi tidak relevan.

Adapun Alqur’an dan Hadits adalah sumber ilmu, artinya bahwa manusia butuh berfikir terhadap berbagai tantangan Allah untuk mengembangkan potensi akal dengan baik. Tentu tidak dalam artian pemikiran liberal sebagaimana yang banyak berkembang. Pemikiran hanya sebagai alat untuk memahami ayat-ayat Allah, bukan justru dijadikan alat menyalahkan atau bahkan menggantikannya.

Orang-orang liberal mungkin masih akan beralasan bahwa mereka juga tetap menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pedoman tanpa menjadikan akal diatasnya. Namun fakta di lapangan justru berbeda. Ketika mereka merasa sedang berfikir atau menemukan objektifitas, pada saat bersamaan ia sedang terjebak pada subjektifitas.

Demikianlah ilmu yang penuh rahasia. Tidak mungkin bisa dikuasai manusia secara sempurna. Hal ini mengandung makna bahwa ilmu bukan esensi pada ilmu itu sendiri.

Ilmu tidak murni sebagai hasil kerja keras tetapi karunia Allah. Ilmu tidak sekedar pekerjaan otak, melainkan juga hati. Inilah mengapa mengapa orang-orang berilmu begitu dimuliakan Allah. Karena orang berilmu pasti berkarakter mulia. Mereka yang belum berakhlak mulia, meskipun mengetahui banyak hal, hakikatnya belum berilmu. (Malang, 16 Januari 2008)

Leave a Response