Surat Dina Sulaiman dan Bahaya Syiah di Indonesia  

Pada tanggal 11 Februari 2015 yang lalu, terjadi penyerangan ke kompleks Azzikra, dimana ustadz Arifin Ilham dan ahlussunnah tinggal. Gerombolan yang berjumlah sekitar 50 orang tersebut telah menculik dan melakukan kekerasan kepada salah satu warga yang merupakan kepala keamanan Kompleks Muslim Azzikra.

Mereka melakukan hal tersebut lantaran di perumahan tersebut terdapat spanduk anti syiah yang ada di lokasi perumahan. Maka kuat indikasi bahwa mereka berasal dari kelompok syiah atau pendukung syiah.

Menyikapi persoalan tersebut, ustadz Arifin Ilham yang terkenal lembut, dengan tegas menyatakan bahwa jika hal ini kembali terulang maka ia dan kaum ahlussunnah siap untuk melakukan jihad. Sesuatu yang memang merupakan syariat dalam Islam, tentu saja bukan dengan tujuan ofensif melainkan defensif.

Namun apa yang terjadi? Ternyata salah seorang wanita syiah bernama Dina Sulaiman tidak terima. Ia pun menulis surat kepada ustadz Arifin Ilham dengan bahasa yang terkesan ilmiah, dan bicara tentang isu politik Timur Tengah yang tentu tidak semua orang memahaminya.

Tulisan ini terlihat ingin menutupi kebenaran yang ada. Dina Sulaiman ingin menggambarkan seakan Syiah adalah bagian dari Islam yang tidak mengancam. Ia ingin menunjukkan bahwa di kawasan Timur Tengah, syiah adalah kelompok yang tidak berdosa sama sekali.

Pada sisi lain, ia justru menunjukkan tembakannya kepada ahlussunnah waljama’ah dengan mengangkat isu Al Qaeda dan ISIS. Padahal bagi mereka yang memahami Islam, apa yang dilakukan oleh Al Qaeda dan ISIS tidak sesuai dengan akidah ahlussunnah waljama’ah.

Mungkin orang awam akan melihat apa yang disampaikan oleh Dina adalah sesuatu yang ilmiah. Seakan dengan suratnya maka ustadz Arifin Ilham dan umat Islam lainnya akan terdiam dan tidak punya suara lagi.

Bahkan ketika ustadz Wildan Hasan membalas surat dari Dina, ia pun dengan sombong dan congkak tanpa melihat isi dan substansi surat malah menertawakan tulisan tersebut yang dianggapnya hanya tulisan copas semata.

Padahal secara substansi tulisan ustadz Wildan sebenarnya sudah menggambarkan bagaimana kesesatan syiah sebagai gerakan keagamaan. Dari berbagai data dan dalil yang beliau sampaikan, maka sudah jelas bahwa syiah bukanlah bagian dari Islam.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini kami ingin memberikan tambahan catatan terutama dalam sudut pandang politik dari beberapa poin yang disampaikan oleh Dina agar tidak membuat masyarakat tertipu. Dari tulisan Dina tersebut, ada beberapa hal penting yang perlu kami kritisi:

Pertama, reaksi spontan dari Dina yang langsung menulis surat untuk ustadz Arifin Ilham agak janggal jika ia bukan seorang syiah. Meskipun dalam suratnya ia menyebut bahwa berita media yang menobatkannya sebagai “tokoh” syiah adalah fitnah, tetapi dari isi tulisan dalam suratnya terlihat jelas pembelaan Dina terhadap Syiah.

Bukan hanya dari isi yang menggambarkan seakan Bashar Al Ashad tidak berdosa, tetapi juga bagaimana ia yang jika tidak punya hubungan apapun dengan syiah, maka seharusnya tidak perlu menulis dengan sangat tendensius dalam suratnya.

Atau jika pun ia beralasan bahwa hal tersebut demi kedamaian Indonesia agar tidak mengalami kasus konflik sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, maka kami juga akan menunjukkan kepada Dina bagaimana syiah telah menjadi ancaman dan bahaya bagi keamanan NKRI pada tulisan ini.

Apalagi realita yang tidak bisa ditutupi jika perlakukan Bashar Al Ashad terhadap kaum ahlussunnah waljama’ah sangat kejam. Karena Assad jutaan rakyat menderita, terbunuh, dan harus hidup di pengungsian.

Kedua, Argumen Dina yang mencoba menghubungkan konflik Libya dengan Suriah dikaitkan dengan Al-Qaeda kemudian mengklaim seakan-akan gerakan mereka merupakan ahlussunnah dan menempatkan syiah sebagai korban adalah aneh bagi pandangan seorang calon doktor Hubungan Internasional.

Kami tidak bermaksud mengajari seorang calon doktor, tetapi jika boleh sharing inilah kasus yang sebenarnya terjadi.

Justru sebenarnya Amerikalah yang memberikan bantuan kepada Al Qaeda untuk menumbangkan rezim Khadafi. Yang mengherankan justru bagaimana bisa Amerika yang selama ini dikenal sebagai musuh bagi terorisme, tetapi menyalurkan dana lebih dari 500 juta dollar kepada kelompok yang selama ini mereka anggap sebagai teroris?[1]

Bahkan beberapa tahun sebelum terjadinya serangan teroris 11 September 2001, Amerika telah mendukung perjuangan Al Qaeda untuk menghancurkan Khadafi. Pada tahun 1996, CIA bahkan memberikan dana kepada Osama bin Laden sebesar $ 100.000 dollar untuk membunuh Khadafi[2].

Dan yang lebih menarik adalah lihat apa yang terjadi setelah khadafi berhasil ditumbangkan pada tanggal 20 Oktober 2011. Saat itu, Obama langsung mengatakan bahwa mereka pun segera akan menghancurkan Al Qaeda[3].

Maka dari kejadian ini, terlihat jelas bahwa Amerika memang sudah punya kepentingan sejak lama untuk menguasai Libya terutama minyaknya. Dan justru kejadian ini bisa membuat kita ragu dengan isu global war on terrorisme yang selama ini lebih banyak ditujukan kepada dunia Islam.

Mereka memang mengatasnamakan perang melawan Al Qaeda, tapi nyatanya efek yang terjadi di tengah masyarakat justru membuat seakan sunnah rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dilecehkan karena ulah “sekutu Amerika” Al Qaeda yang seakan berpenampilan sunnah dari kelompok Islam, tetapi hakikatnya hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh syiah.

Ketiga, aneh bagi seorang calon doktor Hubungan Internasional tidak mengetahui bahwa sebenarnya Amerika senantiasa menempatkan posisi double standard dalam politik mereka di kawasan Timur Tengah.

Bagi Amerika yang ada hanya kepentingan dan hal tersebut bisa dilihat dalam banyak kasus. Termasuk dalam perkara Suriah ini. Adapun Iran kemudian menggunakan kondisi politik ini untuk menarik simpati masyarakat muslim. Mereka memosisikan diri seakan musuh abadi bagi Amerika, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Justru kedua negara sudah membangun persahabatan yang erat sejak lama.

Untuk melihat detail tentang bagaimana hubungan antara syiah Iran dengan Amerika, maka bisa dibaca dalam tulisan kami yang berjudul Mitos Perseteruan Iran Amerika. Sekilas jika hanya melihat judulnya boleh jadi ada yang akan mengatakan sebagaimana pendapat Dina bahwa hal ini merupakan teori konspirasi.

Padahal data resmi juga bisa didapatkan dari disertasi yang ditulis oleh Tirta Parsi. Ia adalah seorang Iran yang secara gamblang membuka hubungan rahasia yang sebenarnya terjadi antara Amerika dan Iran[4]. Dan yang lebih hebat lagi, tulisan ini dibawah bimbingan Francis Fukuyama, yang tentu tidak ada seorang mahasiswa HI pun, apalagi yang sedang belajar di tingkat doktoral, yang tidak mengenalnya!!

Jadi tidak benar jika kebijakan untuk tidak menyerang Suriah karena kehati-hatian Amerika dan NATO sebagaimana disampaikan oleh Dina. Hal ini justru menjadi cara bagi Amerika untuk melindungi rezim Bashar Al Ashad dan sekutu mereka Iran.

Keempat, sangat janggal jika Dina yang katanya calon doktor HI tidak mengetahui bahwa dalam kasus Suriah pun keberadaan Amerika yang seakan ada dipihak ahlussunnah waljama’ah, tetapi ternyata sebenarnya hanya untuk mengelabui opini publik internasional saja, utamanya dunia Islam.

Hal ini persis seperti posisi Amerika dalam konflik Libya sebagaimana di jelaskan di atas atau juga sama dengan posisi Amerika yang seakan tidak mendukung kudeta terhadap Muhammad Morsi. Padahal data seperti ini bisa dengan muda dilihat dalam link ini https://www.youtube.com/watch?v=w58LsqrSYwA&feature=youtube_gdata_player dan dengan  membaca analisa kami yang berjudul Pidato Senator Amerika Mark Kirk Tentang Pemilu di Mesir 2012.

Adapun dalam kasus Suriah, posisi Amerika sebenarnya bisa dilihat dari posisi diamnya selama ini meskipun sebenarnya sudah lama menyaksikan kekejaman Bashar Al Ashad terhadap kelompok ahlussunnah waljama’ah. Namun ketika melihat posisi politik dunia Islam, maka mereka seakan berada pada posisi kelompok ahlussunnah.

Namun lagi-lagi posisi asli mereka terlihat ketika Bashar Al Ashad semakin terancam. Hal ini diberitakan oleh The Sunday Telegraph, pada tanggal 24 Februari 2013 lalu yang menyatakan bahwa komandan militer Inggris dan Amerika siap untuk mengambil alih persediaan persenjataan kimia Suriah agar tidak dikuasai oleh kelompok oposisi.

Hal ini bahkan juga tidak hanya sekali saja terjadi. Jika kita membaca konferensi Jenewa II, yang diadakan di kota Montreux, pada 22 Januari 2014, dan di kota Jenewa, Swiss, pada tanggal 23 sd 30 Januari 2014 yang lalu, maka akan terlihat sangat jelas bagaimana persekongkolan antara Suriah, Amerika dan Iran dibangun.

Secara formal dinyatakan bahwa maksud dari konvensi ini adalah untuk mencari jalan damai menyelesaikan konflik sipil Suriah melalui proses politik transisional yang demokratis[5]. Namun realita yang terjadi justru pertemuan ini menjadi legitimasi asing yang tentu didukung oleh Assad untuk menghalangi rakyat Suriah menentukan masa depannya secara mandiri[6].

Justru dengan pertemuan ini malah membuat pecah kelompok oposisi dan akhirnya memperkuat posisi Bashar Al Ashad yang sebelumnya sebenarnya sudah semakin terdesak.

Kelima, yang lebih aneh lagi adalah bagaimana mungkin seorang calon doktor HI seperti Dina kemudian juga tidak memahami posisi China dan Rusia dalam peta konflik ini. Seakan ia ingin menyalahkan posisi ahlussunnah wal jama’ah yang tidak lagi mendapatkan dukungan dari dunia Internasional.

Padahal, posisi China dan Rusia sebenarnya sangat mudah dipahami karena selama ini memang antara Iran, Rusia dan China sudah mempunyai hubungan yang sangat dekat. Bahkan uranium untuk pengembangan nuklir di Iran juga sebenarnya diimpor dari Rusia dan China.

Sehingga melihat kedekatan ideologi antara Iran dan Bashar Al Ashad maka sangat masuk akal jika kemudian China dan Rusia memberikan veto kepada PBB untuk tidak menyerang Rezim Bashar Al Ashad karena berbagai keuntungan yang mereka dapatkan. Bukan karena keinginan untuk menjaga perdamaian dunia.

Keenam, kami juga heran dengan Dina yang tetap menyatakan agar tidak terjadi konflik di Indonesia dengan tidak memusuhi syiah. Padahal terbukti dalam kejadian ini saja, mereka yang masih sedikit sudah berani melakukan tindak kekerasan, maka bagaimana lagi jika jumlah mereka banyak?

Sangat aneh karena justru selama ini hubungan Iran dengan Indonesia pun sebenarnya tidak tulus dan sarat dengan kepentingan Syiahisasi. Hal ini bisa terlihat dalam tulisan kami yang berjudul Kerjasama Indonesia-Iran Yang Tidak Berimbang.

Dalam tulisan tersebut kami menggambarkan bagaimana Iran meraup banyak keuntungan dengan kerjasama teknis, infrastruktur, militer dan media dengan Indonesia. Padahal ketika mereka mengirimkan berita ke Indonesia, maka kepala radio dan media yang ada di sana haruslah dipilih oleh Ayatollah yang tentu hanya akan menyampaikan berita-berita yang mendukung syiah semata.

Iran memberikan beasiswa untuk ribuan mahasiswa Indonesia agar belajar di sana, tetapi dari tahun 2005 sd tahun 2012, hanya 15 orang saja warga Iran yang mengambil kesempatan beasiswa kebudayaan dari pemerintah Indonesia.

Pada aspek lain, pemerintah Iran dengan gesit membangun 6 (enam) Islamic Cultural Center (ICC), dan 12 Iran Corner di berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Riau, Universitas Muhamadiyah Jakarta, dll. Namun di sisi lain mereka begitu sulitnya untuk memberikan ijin pembangunan pusat kajian Indonesia di Iran. Bahkan untuk melakukan pentas budaya Indonesia saja sulit diadakan di negeri syiah ini.

Yang intinya kesemua hal tersebut menunjukkan besarnya kepentingan syiahisasi di tengah masyarakat Indonesia yang sedang mereka jalankan.

Jika harus kami lanjutkan, maka tentu sangat banyak kritik lain yang bisa kami sampaikan. Untuk sementara cukup beberapa poin ini saja, yang sangat mungkin insyaAllah suatu saat akan kami tambahkan jika memang dibutuhkan. Namun kiranya, data ini sudah cukup menguatkan bagi kita bahwa Syiah memang harus diwaspadai di negeri ini, bahkan menjadi ancaman.

Terakhir kita berterimakasih kepada Dina Sulaiman yang telah menulis surat untuk ustadz Arifin Ilham karena dengannya ia telah menunjukkan kepada kita siapa jati dirinya yang sebenarnya! Lebih dari itu, kita jadi tahu bagaimana cara syiah melakukan taqiyah dalam bidang politik!

Kami berdoa semoga Indonesia tetap menjadi negara yang aman dan damai, tanpa konflik sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, akibat ulah syiah yang selalu merasa benar!!. Aamin.

 

Malang, 3 Maret 2015

Akhukum Fillah, Gonda Yumitro

 

[1] http://www.dailymail.co.uk/news/article-2610598/Group-US-switched-sides-War-Terror-facilitating-500-MILLION-weapons-deliveries-Libyan-al-Qaeda-militias-leading-Benghazi-attack.html

[2] http://www.infowars.com/u-s-government-backs-libyan-al-qaeda-while-hyping-terror-attacks-inside-u-s/

[3] http://www.rieas.gr/images/aya14updated.pdf

[4] Parsi, Trita. 2007. Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran, and the United States. USA: Yale University

[5] http://carnegieeurope.eu/2013/12/20/can-geneva-ii-conference-bring-peace-to-syria/gwt4

[6] http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/11/syria-rejects-kerry-comments-peace-talks-201311316159370972.html

Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Meraih Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Ilmu Hubungan Internasional UGM, M.A Political Science, Jamia Millia Islamia, dan M.A International Relations, Annamalai University, India. Menyelesaikan jenjang PhD Political Science dari International Islamic University Malaysia. Belajar agama dari beberapa ustadz ketika sedang studi di Yogyakarta, Malang dan India. Bekerja sebagai Professor di Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Response