Tangis Untuk Pengungsi Suriah

Seiring dengan terus berlangsungnya konflik di Suriah, tidak sedikit dari warga sipil yang notabene kaum ahlussunnah waljama’ah memutuskan untuk mengungsi ke luar wilayah Suriah. Hal ini disebabkan rendahnya perasaan aman di tengah masyarakat. Menurut data PBB, paling tidak sudah 1,5 juta masyarakat Suriah yang dinyatakan hilang[1].

Bahkan kondisi terakhir menunjukkan bahwa perasaan tidak aman semakin meningkat. Hal ini terlihat dari data UNCHR yang menunjukkan bahwa total jumlah pengungsi sudah mencapai  1.204.707 orang. Dinyatakan bahwa rata-rata pengungsi perhari pada bulan Maret 2013 sudah mencapai 10.000 orang, meningkat dari bulan Februari dan Januari 2013 yang berturut-turut hanya 8.000 dan 5.000 orang pengungsi[2].

Bahkan data lain menunjukkan bahwa jumlah pengungsi sudah mencapai 2,5 juta orang dikarenakan tidak semua pengungsi terdaftar secara formal. Yang menyedihkan bahwa 76% dari para pengungsi tersebut adalah wanita dan anak-anak. Beberapa negara yang dijadikan sebagai tempat mengungsi di antaranya adalah Turki, Libanon, Yordania, dan Irak yang merupakan negara tetangga yang dianggap relatif aman[3].

Karena seriusnya persoalan pengungsi Suriah, pada kesempatan ini akan dibahas keadaan para pengungsi tersebut, termasuk bagaimana kejamnya kelompok syiah terhadap mereka.

Kondisi Pengungsi Suriah Memperihatinkan

Semua orang ingin hidup tenang apalagi di negerinya sendiri. Hanya saja jika keamanan terancam, maka meninggalkan tanah yang dicintai akan dilakukan meskipun terasa berat. Demikian kondisi masyarakat Suriah. Mereka meninggalkan negerinya dengan niatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Hanya saja ternyata kesulitan yang mereka hadapi tidak berhenti begitu saja. Ketika sudah memutuskan untuk mengungsi, mereka harus menghadapi berbagai tantangan

lainnya baik dalam proses keluar dari negaranya, maupun setelah tiba di tempat pengungsian. Berbagai persoalan mereka alami, diantaranya persoalan ekonomi, fasilitas hidup yang kurang memadai, pendidikan dan permainan anak-anak yang sangat terbatas, kemungkinan terjadi konflik antara sesama pengungsi dan penduduk tempat pengungsian, serta sederet masalah lainnya.

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi mereka di lokasi pengungsian, apalagi ketika tiba musim dingin. Udara di kawasan Timur Tengah bisa terasa menusuk tulang. Namun dengan kondisi dimana tidak sedikit di antara mereka yang mengungsi hanya dengan pakaian yang ada di badan, mereka harus tetap bertahan.

Keadaan ini tergambar dari pengalaman seorang pengungsi Suriah di Yordania yang bernama Ahmad. Sebagai rakyat jelata yang tidak mengerti politik, ia merasa menjadi korban. Ahmad hanya seorang petani di daerah Deera. Sehari-hari ia bekerja di ladang dan tidak pernah ikut kegiatan demonstrasi menentang Assad. Tetapi anaknya ditembak oleh tentara Assad hingga tewas.

Awalnya ia ingin melawan dan tidak mau meninggalkan Suriah, tetapi ketika berbagai kekerasan seksual dilakukan oleh para tentara Assad kepada para gadis, Ahmad pun takut akan nasib anak perempuannya dan memutuskan pindah ke Yordania. Dan ketika mengungsi tersebut, Ahmad menceritakan bahwa mereka harus bersembunyi di hutan selama tiga bulan, baru mendapat kesempatan untuk melewati perbatasan. Mereka harus melompati tembok perbatasan pada malam hari agar tidak diketahui oleh tentara Assad yang selalu siaga mengawasi.

Ia juga menceritakan bahwa kejadian mencekam juga dialaminya ketika mereka dihentikan oleh tentara Yordania. Mereka begitu takut jika para tentara tersebut mengirim balik mereka ke Suriah. Hanya saja, ketakutan segera hilang ketika para tentara dari negara ahlussunnah tersebut mengatakan  “alf ahla (Ribuah selamat datang). Kami menangis melihat kondisi kalian”.

Cerita ini hanya satu dari ratusan ribu kisah lainnya. Semakin hari jumlah pengungsi semakin banyak yang datang ke Yordania. Akibatnya, pemerintah Yordania yang bukan negara kaya perlu mengeluarkan dana dan perhatian besar untuk keperluan para pengungsi. Kondisi ini bahkan oleh sebagian pakar ditakutkan akan menyebabkan masalah ekonomi bagi Yordania, bahkan bisa menyebabkan terjadinya ketidakstabilan politik.

Belum lagi masalah pengangguran, kesehatan dan pendidikan para anak-anak pengungsi yang tidak bisa terfasilitasi dengan baik. Jika sebagian bisa sekolah di Yordania, tetapi kondisi satu kelas pun tidak ideal karena terdiri dari lebih 40 siswa.

Adapun di Turki, kondisi para pengungsi sedikit lebih baik daripada mereka yang mengungsi ke Yordania. Sebagaimana di Yordania, selain tinggal di tenda-tenda pengungsian, mereka juga diizinkan menyewa tempat tinggal. Hanya saja, hak mereka untuk bekerja di Turki belum bisa diberikan. Adapun kamp-kamp pengungsian di daerah Hatay, Gazian, Kilis and Urfa kondisinya jauh lebih baik daripada di Yordania. Dan secara ekonomi hal ini tidak terlalu mempengaruhi kondisi Turki.

Hanya saja, dalam konteks politik, sudah muncul berbagai kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah Turki yang dianggap mendatangkan masalah bangsa. Hal ini dipicu oleh kondisi para pengungsi yang tidak bekerja dan bantuan minim dari pemerintah. Akhirnya, tidak sedikit para pengungsi yang kembali ke Suriah untuk mengambil barang-barang yang bisa diperjualbelikan di Turki. Hal ini membahayakan kondisi keamanan di daerah perbatasan.

Masalah lain yang juga cukup serius dihadapi oleh para pengungsi Suriah di Turki  adalah karena kebanyakan dari mereka datang ke kota Antakya, sebuah kota di Hatay yang merupakan wilayah mayoritas kelompok Alawi yang bersimpati dengan Assad. Opini yang tidak baik di tengah masyarakat pun dibangun oleh kelompok syiah berkaitan dengan para pengungsi.

Mehmet seorang bisnisman dari Alawi misalnya mengatakan bahwa kelompok pengungsi tidak lebih dari teroris, mereka berjenggot panjang seperti Al-Qaeda, dan telah menyebabkan ketakutan di tengah kota. Bahkan seorang dokter Alawi, Olgun menyatakan bahwa dia pernah mendengar jika para pengungsi mengatakan bahwa setelah Assad maka Turki Alawi adalah target mereka selanjutnya.

Intinya, mereka melakukan berbagai cara agar kehidupan para pengungsi tidak diterima oleh masyarakat dan merasa selalu dalam keadaan terancam. Bahkan utusan Assad masuk ke negara-negara tetangga dengan bertindak brutal, misalnya dengan membunuh anak-anak, wanita dan orang tua. Mereka memperkosa para gadis, dan juga membawa kalajengking untuk di sebar di kawasan para pengungsi.

Bahkan beberapa hari terakhir, konflik dan ledakan bom sudah mulai terjadi di Turki. Muncul kekhawatiran dan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa ketika pertama kali krisis Suriah terjadi, Turki hanya membuat rencana jangka pendek untuk menyelesaikan masalah. Hanya saja karena perang sipil telah memasuki tahun ketiga, maka Turki perlu kembali mengkaji strateginya dalam menyikapi konflik Suriah.

Begitulah nasib saudara-saudara kita ahlussunnah para pengungsi yang terjadi hari demi hari menghadapi berbagai kesulitan. Kondisi yang membuat hati menangis. Karenanya merupakan kewajiban bagi kita untuk turut berbagi dan medoakan layaknya seorang saudara sesuai dengan kemampuan diri.

Malang, 23 Mei 2013

Akhukum Fillah, Gonda Yumitro

[1] http://www.npr.org/blogs/thetwo-way/2012/08/10/158553289/fighting-has-forced-more-than-1-5-million-syrians-to-move-u-n-says

[2] http://www.guardian.co.uk/world/middle-east-live/2013/mar/28/syria-crisis-spilling-into-golan-heights-unsc-live

[3] http://syrianrefugees.eu/

Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Meraih Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Ilmu Hubungan Internasional UGM, M.A Political Science, Jamia Millia Islamia, dan M.A International Relations, Annamalai University, India. Menyelesaikan jenjang PhD Political Science dari International Islamic University Malaysia. Belajar agama dari beberapa ustadz ketika sedang studi di Yogyakarta, Malang dan India. Bekerja sebagai Professor di Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Response