Budaya Mahasiswa Negeriku

Kampus adalah lembaga tempat pelajar mendapatkan “puncak” ilmu. Mereka tidak hanya sekedar siswa lagi, melainkan sudah mendapat embel – embel “maha”. Suatu kata yang berarti besar atau pada puncak tertinggi.

Mahaguru berarti guru besar. Demikian juga dengan maha raja, maha agung dan maha-maha lainnya. Seorang mahasiswa berarti siswa yang sudah sampai pada posisi tertinggi dalam dunia pendidikan, maka tentu mempunyai karakter yang mendekati sempurna dalam dunia akademik.

Namun apakah kenyataannya memang demikian?. Ternyata gelar maha tidak selamanya menunjukkan kondisi mereka yang sebenarnya. Apalagi di Negara yang terkenal sangat cinta dengan gelar dan penghormatan manusia ini. Begitu banyak orang yang berebut gelar meskipun tanpa harus kuliah. Sejumlah uang, kemudian bisa digunakan untuk membeli segalanya.

Mungkin masih ada yang menolak kondisi tersebut. Hanya saja, kian hari dunia pendidikan Indonesia kian mengkhawatirkan. Kampus identik dengan komersialisasi. Orang miskin kesulitan menempuh pendidikan yang layak. Pada akhirnya mereka kesulitan untuk melakukan mobilitas vertical status sosial.

Dalam dunia pendidikan, kondisi tersebut tidak kalah merugikan. Ruh akademis yang identik dengan budaya membaca, diskusi dan menulis di dunia mahasiswa kian hari juga kian luntur. Hanya sedikit mahasiswa yang membiasakan diri membaca buku di luar mata kuliah satu buku dalam seminggu atau bahkan lebih misalnya, apalagi sampai menulis dan mendiskusikannya. Bahkan materi yang diberikan oleh dosen pengajar pun tidak mereka baca.

Alasan yang dimunculkan juga bermacam-macam. Ada yang karena sibuk bekerja, kesulitan karena berbahasa inggris dan bahasa asing lainnya atau mungkin hanya karena malas. Mereka merasa cukup hanya mengandalkan penjelasan dosen di kelas saja. Itu pun tidak sepenuhnya karena mereka juga terganggu oleh perhatian yang lain. Di kelas, banyak mahasiswa yang kesulitan konsentrasi dalam belajar.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika kondisinya demikian. Tentu budaya akademik yang seharusnya berkembang di dunia kampus menjadi redup. Mahasiswa berubah menjadi sosok-sosok yang pragmatis. Mereka hanya mengejar nilai, dan bisa tamat cepat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Budaya instant berkembang luas.

Dosen juga tidak lagi dijadikan sebagai panutan yang bisa mendidik. Tugas mereka bukan lagi mengajar, apalagi mendidik, melainkan hanya sekedar memberi nilai dan legitimasi bahwa mereka adalah sarjana. “sarjana karbetan” sebenarnya.

Tapi apa mau dikata. Kondisi tersebut sudah sedemikian meluas. Wajar kalau sekian banyak persoalan negeri ini tidak kunjung selesai. Ribuan sarjana yang dilahirkan setiap tahun lebih banyak menambah barisan pengangguran. Mereka tidak punya inisiatif kecuali sudah teracuni oleh budaya ingin hidup enak, tapi tanpa perjuangan keras.

Jujur, kita rindu dengan masa lalu. Ketika tidak lebih dari seratus sarjana yang Indonesia miliki, tapi bisa mengusir penjajah dan mendirikan Negara ini. Mereka bahkan bisa menggoncang dunia. Kita rindu. Tapi kapan, kita tidak pernah tahu!!! (Malang, Januari 2009)

1 Comment

Leave a Response