Indonesia di Tengah Liberalisasi Ekonomi

Tulisan ini pernah dibuat di http://www.sinarharapan.co.id/no_cache/search/, tanggal 18 Juni 2011,

Kami sertakan di sini semoga bisa berbagi dan bermanfaat,


Membaca tulisan saudara Henry Saragih, ketua umum Serikat Petani Indonesia, yang berjudul Selamat Tinggal WTO dan Perdagangan Bebas, yang diberitakan di Koran Sinar Harapan, 14 Juni 2011, saya tertarik untuk memberikan tanggapan.

Dalam tulisan tersebut, saudara Henry Saragih menggambarkan bagaimana kegagalan diplomasi WTO dalam dekade terakhir. Akibatnya ketimpangan ekonomi  antara Negara kaya dan Negara miskin semakin besar. Menurutnya, WTO tidak lebih dari penjajahan gaya baru.

Oleh karena itu, upaya untuk menghidupkan kembali negosiasi WTO harus ditolak. Yang diperlukan menurutnya adalah membangun demokrasi ekonomi berbasis konstitusi yang ramah lingkungan, demi kesejahteraan dan keadilan sosial, sesuai dengan UUD 1945.

Menurut saya, tulisan ini menunjukan keinginan dan semangat penulis akan adanya system ekonomi yang melindungi masyarakat lemah Akan tetapi rasanya sulit terwujud melihat posisi Indonesia dalam perkembangan ekonomi politik global dewasa ini.

Dilema Indonesia dalam Ekonomi Politik Global

Pembelaan terhadap nasib kaum marginal agar mendapatkan kesejahteraan ekonomi sebagai warga negara adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap negara.

Hanya saja kita berada pada suatu sistem dimana kebijakan negara tidak murni berdasarkan persoalan domistik semata. Ada banyak isu dan pengaruh internasional yang perlu dipertimbangkan.

Persoalan menjadi semakin sulit bagi negara yang masih lemah. Negara yang belum cukup mempunyai power dalam politik internasional. Apalagi secara domistik mempunyai berbagai persoalan serius seperti korupsi, penegakan hukum yang lemah dan penataan sistem pendidikan yang bermasalah.

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang mempunyai beberapa persoalan tersebut. Negara ini begitu ringkih baik dalam politik internasional maupun domistik.

Kondisi ini sebenarnya bukan hanya produk regime masa kini melainkan sudah merupakan persoalan yang diwariskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya.

Ekonomi Indonesia mempunyai masalah serius sejak orde baru menjadikan utang luar negeri sebagai penopang perekonomian bangsa. Apalagi setelah Indonesia meratifikasi kesepakatan WTO sebagai bagian dari konsensus Washington pada tahun 1994.

Hal ini menandakan persetujuan Indonesia untuk meliberalisasi ekonomi bangsa. Ekonomi domistik akan sangat terpengaruh oleh ekonomi internasional. Krisis global 1997 tidak bisa membuat Indonesia mengelak dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi kritis.

Masalahnya adalah regime setelah itu seperti tidak mempunyai komitmen yang cukup untuk belajar dari sejarah dalam upaya membangun ekonomi bangsa. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah utang luar negeri Indonesia yang kian hari semakin meningkat.

Data menunjukkan bahwa utang Indonesia sekarang sudah berada pada titik mengkhawatirkan, medekati angka 2000 triliun. Jumlah tersebut jauh meningkat dibandingkan tahun 2004 yang hanya 1.294,8 triliun. Pada tahun 2009 saja, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 1,667 triliun.

Implikasi dari utang ini adalah hilangnya dependensi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Pengaruh kelompok korporasi dan pemodal begitu terasa. Nasib kalangan ekonomi lemah pun, seperti petani, buruh, semakin tidak jelas.

Kemandirian dan Proteksi Ekonomi Domistik

Kelompok sosialis biasanya menilai bahwa WTO (sama halnya dengan World Bank dan IMF), tidak lebih dari institusi yang mendukung perkembangan liberalisasi ekonomi dunia.

Hal ini pada akhirnya hanya akan menguntungkan negara-negara kuat dan membuat ketergantungan negara berkembang. Negara berkembang tidak lebih dari penyedia sumber produksi dan tenaga kerja yang murah, serta pasar bagi negara-negara maju.

Meskipun demikian, kelompok liberal beralasan bahwa tidak ada salahnya dengan liberalisasi ekonomi dunia. Justru dengan liberalisasi ekonomi persoalan ekonomi global bisa diselesaikan.

Adapun ketimpangan ekonomi yang terjadi antara negara maju dan berkembang akan hilang seiring dengan waktu. Mereka beralasan bahwa pertumbuhan ekonomi dimulai dari daerah-daerah maju ke daerah-daerah berkembang, dari kota ke desa.

Menurut mereka lagi, keberhasilan liberasasi ekonomi bisa dilihat dari kasus India dan China yang tumbuh sebagai dua kekuatan ekonomi baru dunia.

Dalam kasus India misalnya, pertumbuhan ekonomi India meningkat drastis dari 6,7% pada tahun 2008-09, menjadi 7,4% pada tahun 209-10. Pada tahun 2011 ini diperkirakan pertumbuhan ekonomi India mencapai angka 8,5 %.

Suatu kondisi yang jauh berbeda ketika India masih begitu dekat dengan Rusia dan menerapkan sistem sosialisme.

Akan tetapi, satu hal yang begitu ditekankan oleh India adalah upaya untuk tidak menjadi budak ekonomi Amerika meskipun mereka bekerjasama.

Untuk itu mereka melakukan upaya penguatan kemandirian dan daya tawar dengan ”show of power” melalui peningkatan kualitas pendidikan. India berhasil melakukan internasionalisasi pendidikan dan menghapus kendala dalam berkomunikasi dengan bahasa inggris di tengah masyarakat global.

Selain itu, India cukup terkenal dengan budaya kesederhanaan yang meluas di tengah masyarakat, termasuk kalangan pejabat. Fasilitas mobil dinas pejabat misalnya bukanlah mobil mewah, bahkan merupakan produk lokal. Kondisi ini banyak terinspirasi oleh kebiasaan Gandhi yang begitu mereka hormati.

Maka bagaimana dengan Indonesia?. Ucapan selamat tinggal WTO akan kehilangan jika Indonesia tidak mampu membangun kemandirian ekonomi dan menyelesaikan berbagai persoalan domistik serius lainnya. ##

 

Leave a Response