Kualitas Pendidikan India Yang “Terlupakan“

Tulisan ini dimuat dalam buletin Atase Pendidikan KBRI New Delhi Edisi I, ditampilkan di blog dengan harapan agar bisa berbagi informasi bagi teman-teman yang belum bisa mendapatkan buletin tersebut.

Kualitas Yang Mendunia

Di Indonesia, banyak orang yang belum tahu tentang kualitas pendidikan di India. Bahkan tidak sedikit dari mahasiswa yang sekarang kuliah di India mendapat berbagai pertanyaan ”keheranan” dari teman-teman mereka di Indonesia sebelum berangkat ke India.

”Kenapa anda kuliah di India, bukankah kualitas pendidikan India sama dengan Indonesia, bahkan kita bisa lebih baik?” atau pernyataan, ”Tanggung amat kuliah di India, kenapa tidak sekalian ke Eropa, Amerika, Australia, Jepang, atau negara-negara maju lainnya?”.

Padahal masyarakat Eropa dan Amerika sudah tidak lagi meragukan kualitas pendidikan India. Posisi alumni India sudah dinilai mampu menyaingi lulusan Eropa, Australia, Amerika dan negara-negara maju lainnya.

Buktinya, banyak lulusan India yang bekerja di luar negeri dan mempunyai prestasi gemilang di berbagai bidang, terutama IT dan Kedokteran. Sangat banyak lulusan India yang bekerja sebagai dokter di Amerika seperti halnya tenaga IT di Microsoft yang juga direkrut dari lulusan India.

Jumlah tersebut lebih banyak lagi jika dihitung dengan semua orang India yang menjadi dosen atau profesor di berbagai kampus di banyak negara seperti Singapura, Eropa, Amerika, Timur Tengah, dll. Belum termasuk mereka yang bekerja bahkan menjadi manager di berbagai perusahaan besar dunia lainnya.

Kondisi tersebut juga didukung oleh proses pendidikan di India yang melahirkan cukup banyak doktor setiap tahunnya. Jika ditotal, paling tidak sudah terdapat 500 ribu lebih lulusan S-3 di India. Berbeda dengan Indonesia yang dalam 20 tahun ke depan saja diperkirakan baru memiliki 30 ribu doktor. (http://kampus.okezone.com/read/2011/07/20/373/482033/jumlah-lulusan-s-3-indonesia-kalah-jauh-dengan-india).

Bertambahnya jumlah doktor setiap tahunnya dalam jumlah yang banyak  berimplikasi terhadap jumlah dan kualitas penelitian di India. Pemerintah India begitu mendukung pengembangan kualitas pendidikan India dengan menyambut gembira hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan pengambilan berbagai kebijakan strategis negara.

Dengan kondisi tersebut, wajar jika kemudian beberapa penilaian lembaga Internasional seperti di situs http://www.topuniversities.com/country-guides/india, menempatkan tidak sedikit universitas-universitas India ke dalam kategori 500 besar kampus terbaik di dunia.

 

Pilar Internasionalisasi Pendidikan India

Kualitas pendidikan India yang mampu bersaing di dunia Internasional tidak muncul dengan tiba-tiba. Paling tidak ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorong berkembangnya pendidikan India yang kompetitif tersebut.

Pertama, univeritas-univeristas modern India sudah berdiri sejak tahun 1857 dan mapan. Sebagian kampus-kampus terkenal India sudah berdiri sejak masa penjajahan Inggris. Dengan usia yang cukup berumur tersebut, mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dan matang dalam sistem pengelolaan dan upaya meningkatkan kualitas SDM India.

Kedua, penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintahan India. Dengan menggunakan bahasa inggris, mahasiswa di India tidak lagi mempunyai masalah untuk mendapatkan berbagai ilmu dari semua perspektif dan pendekatan dengan jumlah referensi yang sangat banyak.

Ketiga, dosen India minimal sudah menyelesaikan pendidikan doktor (S-3), bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyelesaikan S-2 dan S-3 beberapa kali. Oleh karena itu tidak jarang kita menemukan dosen dengan gelar ganda, seperti Dr.Gurusami,M.Sc.,M.Phil,M.E.D,.Ph.D.

Keempat, India mengembangkan berbagai kampus yang fokus pada satu bidang ilmu tertentu yang kemudian menjadi kekuatan pilar pendidikan India. Misalnya di India, BITS, ISB, IITs, NITs, IISc, IIMs, dan AIIMS merupakan kampus-kampus unggulan yang kualitas alumninya sudah tidak diragukan lagi di dunia Internasional sekali pun.

Bahkan akhir-akhir ini karena banyaknya permintaan pasar Internasional terhadap alumni India, pemerintah India sudah mulai membangun upaya kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing untuk membangun kampus sendiri di India.

“Kerjasama” Pemerintah dan Masyarakat

Baik disengaja atau tidak, ada suasana yang harmonis terkait dengan kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan India. Dalam hal kebijakan pemerintah misalnya, ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dipelajari.

Beberapa dari kebijakan tersebut antaralain biaya pendidikan murah. Pertahun mahasiswa lokal (India) cukup membayar bea-kuliah sebesar 5000 rupees (atau satu juta rupiah). Jadi untuk kuliah master sampai tamat misalnya, mahasiswa cukup mengeluarkan uang sebesar 2 juta rupiah saja. Di India juga tidak ada biaya masuk yang sering dikenal sebagai uang pembangunan atau SPMA dan sejenisnya seperti di Indonesia.

Untuk mahasiswa S-3, kebijakan pemerintah lebih menggembirakan lagi. Setiap mahasiswa yang memenuhi kualifitasi untuk kuliah S-3 diberikan beasiswa sebesar 1 juta rupiah perbulan. Sementara biaya kuliah mereka pertahun sama dengan biaya studi mahasiswa S-2.

Bahkan untuk mahasiswa yang berprestasi, pemerintah India memberikan beasiswa sebesar 5 juta rupiah perbulan. Jumlah yang sangat besar untuk standard hidup di India yang masih tergolong murah. Dengan beasiswa tersebut mahasiswa tersebut juga bisa melakukan research di berbagai tempat.

Adapun untuk mahasiswa asing, biaya kuliah lebih mahal sedikit, meskipun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah di Indonesia, apalagi dengan Negara-negara maju. Pertahun mahasiswa asing perlu membayar rata-rata US$ 500 untuk level master, sehingga sampai tamat cukup mengeluarkan biaya kuliah US$1000, kecuali beberapa jurusan favourite seperti kedokteran, komunikasi, dan IT.

Sementara untuk jenjang doktor jumlah tersebut sedikit lebih mahal yaitu sebesar US$ 1200 pertahun. Jika mampu menyelesaikan pendidikan doktor selama 3 tahun, maka cukup mengeluarkan bea kuliah sebesar US$ 3600 saja.

Saya pernah menanyakan bagaimana mungkin kampus-kampus di India bisa beroperasi menjadi kampus unggulan dengan biaya kuliah yang sangat minim tersebut kepada beberapa teman. Akan tetapi, ternyata sebagaimana budaya umumnya masyarakat India, mereka mengelola dana tersebut dengan prioritas terhadap hal-hal yang bersifat substantif dan fungsional.

Dari anggaran pendidikan India yang hanya 12,7 % dari anggaran nasional (http://www.visualeconomics.com/how-countries-spend-their-money/), alokasi dana dimaksimalkan untuk kebutuhan prioritas dan prinsipil dalam peningkatan kualitas pendidikan seperti penyediaan fasilitas perpustakaan yang lengkap, peningkatan kesejahteraan dosen dan profesor, dll. Seminimal mungkin dana tersebut digunakan untuk hal-hal yang bersifat penampilan luar.

Suatu hari profesor saya pernah menanyakan “Berapakah gaji profesor di Indonesia?”. Ketika saya jawab, “Sekitar US$ 1.500 perbulan”, kemudian ia berkata, “Berarti masih lebih kecil dari gaji profesor di India”. Sayang saya tidak bisa secara pasti mengetahui jumlah tersebut.

Dengan kesejahteraan yang demikian, akhirnya dosen dan profesor di India begitu mudah ditemui kapanpun. Mereka dengan penampilannya yang kebanyakan sangat sederhana begitu wellcome dan antusias untuk melayani dan berdiskusi dengan mahasiswa di luar kelas sekali pun.

Lebih dari itu, harga buku, koran dan jurnal dengan harga murah dapat didapatkan dengan mudah. Selain karena adanya subsidi harga kertas dari pemerintah, ada juga banyak kerjasama dengan penerbit-penerbit asing seperti Oxford untuk mencetak buku-buku mereka di India dan perusahaan-perusahaan media massa mengintensifkan fungsi iklan sebagai pembiayaan produksi mereka.

Di sisi lain, budaya akademik mahasiswa India sangat bagus. Pertama kali datang ke India misalnya saya berkunjung ke perpustakaan. Yang membuat saya kaget adalah ruang baca perpustakan yang begitu luas, penuh sesak oleh mahasiswa padahal waktu itu kampus masih libur. Apalagi pada musim kuliah aktif atau ujian.

Saya sendiri menjadi begitu termotivasi berkunjung ke perpustakaan karena hampir semua teman-teman sekelas saya selalu datang ke perpustakaan dari sekitar jam 9 pagi sampai jam 12-an malam. Maklum di sini perpustakaan pada hari biasa buka sampai jam 2 pagi, sementara musim ujian dibuka 24 jam. Akan tetapi saya paling tahan hanya sampai maghrib atau isya saja.

Dengan budaya membaca mahasiswa yang begitu tinggi, tidak heran misalnya ketika di kelas, dosen begitu mudah mengatakan, ”Siapa besok yang siap mempresentasikan chapter ini dan ini?”, yang kalau saya hitung tebalnya paling tidak 50-an halaman.

Akan tetapi, teman-teman sekelas saya berebut ingin mempresentasikan materi tersebut. Padahal waktu membaca yang diberikan tidak lebih dari satu malam saja. Sesuatu yang belum biasa di Indonesia, apalagi dengan bahan materi yang semuanya berbahasa inggris.

Saya tidak tahu persis faktor yang bisa mendorong budaya membaca mereka yang begitu tinggi tersebut. Hanya saja, berdasarkan pengamatan saya terhadap teman-teman di kampus, paling tidak ada beberapa hal yang ”menuntut” mereka untuk ekstra keras belajar di kampus.

Sebagaimana kita ketahui, India mempunyai jumlah penduduk yang sangat banyak, nomer dua terbesar di dunia setelah China, dengan jumlah lebih dari 1,2 miliar. Banyak orang kaya, akan tetapi ketimpangan sosial masih menjadi persoalan yang serius.

Mereka terutama yang berasal dari kalangan menengah ke bawah kemudian menilai bahwa pendidikan merupakan sarana paling efektif yang akan bisa membantu mereka melakukan mobilitas sosial vertikal.

Mereka yang sudah kuliah di IIT misalnya, menjadi jaminan bahwa ia akan mendapatkan masa depan cemerlang. Setelah lulus dari IIT, berbagai perusahaan besar baik dalam dan luar negeri sudah akan meng-hire mereka, bahkan saat mereka masih menjadi mahasiswa sekali pun.

Hal ini bisa dimaklumi karena dari 450 ribuan pendaftar, IIT hanya menerima 8000 saja mahasiswa baru. Bisa dibayangkan bagaimana ketatnya persaingan tersebut, sampai-sampai diberitakan mereka harus mendapatkan nilai 100% untuk bisa menjadi mahasiswa IIT.

Dan ketika sudah kuliah pun, di India dosen masih sering mengucapkan,” you are just students”  kepada mahasiswa master sebagai motivasi agar mereka lebih giat lagi belajar.  Padahal menurut saya kualitas mereka sudah sangat bagus.

Akan tetapi memang, tidak sedikit teman-teman saya yang masih bertanya-tanya mau kerja dimana. Soalnya persaingan hidup di India dengan jumlah penduduk yang sangat banyak tadi memang ketat. Mereka baru merasa aman dengan masa depannya setelah menjadi mahasiswa doktor. Karena ”kompetisi” tersebut, tidak sedikit saya temui mahasiswa doktor india yang masih berusia 23 atau 24 tahun.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka bukan waktunya untuk ”menyepelekan” kualitas pendidikan India. India sudah berlari untuk semakin meningkatkan kualitas SDMnya. Bahkan sekarang produknya sudah mulai mampu membawa India menjadi ”the new emerging power” di Asia.

Kita berharap, suasana dan kondisi serupa juga bisa berkembang di Indonesia tercinta. (Nda)

 

1 Comment

Leave a Response