Menjaga Keikhlasan Seorang Da’i

Pada tahun 2007, salah seorang ustadz yang mengajari kami Islam bercerita tentang beratnya menjaga keikhlasan. Semakin dikenal banyak orang ia pun semakin merasakan tantangan yang semakin berat. Hal yang paling terasa adalah menjaga keikhlasan niat.

Padahal Subhanallah, kami pribadi begitu kagum dan bersyukur dengan keberadaan beliau. Sejak tahun 2003 kami mulai belajar dengan beliau dan merasakan adanya nuansa yang lebih mencerahkan. Islam yang sebelumnya kami ketahui hanya sebatas ritual mulai kami kenal dengan cara yang lebih mendalam. Islam ternyata mengatur semua aspek kehidupan manusia dengan sempurna.

Dengan umur yang waktu itu masih 30 an tahun, dalam sehari beliau paling tidak mempunyai lebih dari 4 atau 5 majelis taklim. Jarak antara satu majelis dengan yang lainnya juga tidak dekat, tetapi terlihat wajahnya begitu bersinar seakan tidak ada rasa capek.

Dengan bersemangat dan karakternya yang lembut, mengalir aliran ilmu yang menyejukkan dari lisan beliau. Majelis-majelis ilmu yang beliau isi pun dipenuhi sesak oleh para jama’ah yang merasakan hausnya memahami Islam.

Menurut ustadz kami yang merupakan lulusan dari Universitas Islam Madinah tersebut, dalam satu bulan ia sering mendapatkan amplop dari majelis-majelis yang beliau isi. Dalam satu bulan bahkan pernah mendapatkan lebih dari 70 juta. Jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran waktu itu bahkan sekarang pun!!

Beliau pun segera menyadari adanya yang tidak beres dengan hati. Hal ini dikarenakan pernah beberapa kali juga beliau mengisi kajian, dan panitia mengantar beliau ke tempat parkir “hanya” dengan ucapan terimakasih. Ternyata ada perasaan berharap bahwa panitia akan memberikan amplop.

Di sinilah ujian yang beliau rasakan disambut dengan rasa syukur. Beliau menyadari bahwa pengalaman ini merupakan ujian Allah untuk meluruskan niatnya. Karena betapa banyak orang-orang yang telah tertipu dengan amalnya. Amal yang besar pun menjadi kecil di sisi Allah karena niatnya yang salah. Demikian juga dengan amalan yang kecil, jika niatnya ikhlas maka niscaya akan menjadi besar nilainya di sisi Allah ta’ala.

Maka sejak itu, beliau memutuskan untuk tidak mau lagi menerima amplop dari siapapun. Jika ada yang ingin memberikan amplop atau apapun namanya, maka beliau meminta yang bersangkutan untuk menghubungi pondok pesantren dan yayasan yang beliau bangun. Jadi semuanya tercatat dan tidak digunakan untuk kebutuhan pribadi.Sebuah keputusan yang mungkin belum semua orang termasuk di kalangan da’i melakukannya.

Memang para ulama tidak mengharamkan menerima amplop bagi seorang ustadz yang mengajarkan islam selama ia tidak memasang tarif. Namun dalam upaya menjaga keikhlasan niat, tentu apa yang beliau lakukan perlu untuk diapresiasi.

Apalagi jika seorang da’i semakin terkenal. Tidak jarang ketika ia sudah mempunyai komitmen untuk mengisi di suatu tempat yang “kering”, secara tiba-tiba ia diundang juga pada waktu yang sama di tempat yang “basah”.

Jika bukan karena keikhlasan, maka bisa jadi ia akan membatalkan komitmen yang telah ia buat terlebih dahulu. Apalagi di tengah kehidupan kita sekarang yang semua membutuhkan biaya yang relatif mahal dan juga belum ada jaminan penghasilan dari pemerintah bagi para da’i sebagai aktor penjaga moral bangsa.

Kondisi ini memerlukan muhasabah diri dari seorang da’i. Ia perlu merenungkan apakah niat yang selama ini ia pasang sudah ikhlas karena Allah atau belum. Karena sungguh begitu banyak orang yang tertipu dengan amalnya.

Dikisahkan pernah ada seorang yang senantiasa sholat di saff pertama pertama selama 60 tahun. Kemudian suatu hari ia terlambat dan ia sholat di shoff yang kedua. Maka dihatinya muncul perasaan, bagaimana manusia melihat dia yang berpuluh-puluh tahun selalu di shoff pertama, tetapi sekarang malah terlambat.

Maka saat itu, ia menyadari bahwa selama ini dirinya belum ikhlas dalam melaksanakan sholat jama’ah di shoff yang pertama. Sebabnya bukan karena Allah, tetapi masih karena manusia.

Oleh karena itu, siapapun yang akan meniti jalan Allah, apalagi jalan dakwah yang penuh dengan onak dan duri. Ia harus betul-betul mengikhlaskan niatnya karena Allah ta’ala. Jangan pernah kita berdakwa karena dunia yang kita inginkan. Apalagi hanya sekedar amplop yang nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan keutamaan akhirat.

Sungguh jalan dakwah ini adalah jalan yang indah bagi mereka yang menjalaninya karena Allah ta’ala. Kita sebagai da’i harus dengan ikhlas mengatakan,

لا نريد منكم جزاءً ولا شكورا

Tidaklah kami menginginkan balasn darimu dan juga ucapan terimakasih (Q.S. Al Insan: 9)

Dakwah yang kita jalani haruslah dilakukan karena cinta kepada Allah dan keinginan untuk membimbing saudara-saudara kita akan mendapatkan petunjuk. Mereka yang masih melakukan kesyirikan akan merasakan nikmatnya tauhid. Mereka yang masih bermaksiat agar merasakan nikmatnya ketaatan. Mereka yang masih melakukan kebid’ahan agar merasakan indahnya meniti jalan sunnah. Mereka yang masih jahil merasakan cahaya ilmu.

Dengan keikhlasan ini, insyaAllah amal baik kita dalam dakwah akan diterima oleh Allah ta’ala. Karena sungguh, hanya amalan yang ikhlas saja yang akan diterima oleh Allah ta’ala. Dari Abi Amamah,

أن رجلاً جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله أرأيت رجلاً غزا يلتمس الأجر والذكر ما له؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا شيء له فأعادها عليه ثلاث مرات يقول له رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا شيء له ثم قال: إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصًا وابتغي به وجهه

Sesungguhnya seseorang mendatangi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berkata, “wahai Rasulullah, aku melihat seseorang berperang dan bercampur keinginan untuk mendapatkan balasan dan diingat, maka apa yang ia dapatkan?” Rasulullah berkata, “ia tidak mendapatkan sesuatu” . Beliau pun mengulangi ucapannya tiga kali. Kemudian beliau mengatakan, “sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal kecuali amalan itu ikhlas dan hanya mencari wajah Allah semata” (HR.Nasa’i)

Akhirnya, kita berdoa kepada Allah ta’ala semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Allah ta’ala untuk menjadi seorang yang ikhlas, apalagi bagi kita yang meniti jalan dakwah. Aamin.

 

Malang, 30 Agustus 2015

Akhukum Fillah, Gonda Yumitro

 

Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Meraih Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Ilmu Hubungan Internasional UGM, M.A Political Science, Jamia Millia Islamia, dan M.A International Relations, Annamalai University, India. Menyelesaikan jenjang PhD Political Science dari International Islamic University Malaysia. Belajar agama dari beberapa ustadz ketika sedang studi di Yogyakarta, Malang dan India. Bekerja sebagai Professor di Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Response