“Serunya” Ujian Semester di India

Tulisan ini dimuat dalam buletin Atase Pendidikan KBRI New Delhi Edisi VII, ditampilkan di blog dengan harapan agar bisa berbagi informasi bagi teman-teman yang belum bisa mendapatkan buletin tersebut

Pada minggu pertama dan kedua bulan Desember ini, hampir semua mahasiswa di India sibuk dengan ujian semester ganjil. Sebagian kampus di India telah merubah sistem ujian tahunan dengan ujian semester. Meskipun demikian, sistem ujian di India tetap relatif berbeda dengan sistem ujian di negara lainnya, termasuk Indonesia. Berkenaan dengan momentum dan keunikan tersebut, pada edisi ini buletin Sukriya mengangkat tema ini sebagai topik utama.

Sistem Ujian Kampus India

Nuansa kuliah di India begitu terasa ketika musim ujian tiba. Hal ini dikarenakan sistem ujian di kampus-kampus India menuntut persiapan mahasiswa yang betul-betul matang.

Pada saat ujian, mahasiswa diminta untuk menjawab pertanyaan dalam bentuk essay. Satu pertanyaan harus dijawab dengan menuliskan pendahuluan, teori, kritik terhadap teori, analisa dan kesimpulan. Oleh karena itu, satu jawaban biasanya berkisar 6-7 halaman. Dengan jumlah 5 soal pertanyaan, total jawaban mahasiswa biasanya berkisar 30 halaman kertas folio. Semuanya harus mereka selesaikan dalam waktu 3 jam.

Berbeda dengan sistem ujian beberapa tahun yang lalu yang menerapkan sistem ujian tahunan, kini sebagian kampus-kampus India telah menerapkan sistem ujian semester. Sebagai konsekuensinya, mahasiswa harus lebih giat belajar. Apalagi, pada sistem ujian semester, ujian tengah semester diadakan dua kali dalam satu semester. Jadi, dalam satu tahun paling tidak mahasiswa India akan mengikuti dua kali mid tertulis, dua kali mid menulis paper dan presentasi, dan dua kali ujian akhir semester.

Dengan sistem yang seperti ini, akhirnya persiapan menghadapi ujian semester di kalangan mahasiswa ”sangat seru”. Mereka harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari, bahkan beberapa bulan sebelum ujian. Hal ini pula yang menyebabkan perpustakaan-perpustakaan kampus di India selalu dipenuhi mahasiswa.

Perpustakaan adalah tempat yang paling nyaman untuk belajar bagi mahasiswa. Apalagi ujian di India diadakan pada musim dingin untuk semester ganjil dan musim panas untuk semester genap. Dengan fasilitas pemanas ruangan dan air conditioner (AC), mahasiswa berebut untuk mendapatkan tempat belajar di perpustakaan.

Jika tidak datang pagi-pagi, maka jangan harap akan mendapatkan tempat. Apalagi khusus musim ujian, perpustakaan kampus dibuka 24 jam, sementara pada hari-hari lainnya dibuka dari jam 09.00 pagi sampai jam 02.00 pagi.

Hal ini juga berkenaan dengan kultur mahasiswa India yang sangat semangat dalam belajar. Tidak sedikit dari mereka yang menghabiskan waktu antara delapan sampai dua belas jam setiap harinya hanya untuk sekedar membaca. Bagi mereka, kesuksesan menempuh jalur pendidikan merupakan sarana yang paling efektif untuk mengukir masa depan yang lebih baik di tengah persaingan kerja dan hidup di India yang sangat ketat.

Meskipun demikian, sistem ujian yang seperti ini tetap mengundang perdebatan di kalangan mahasiswa dan dosen. Apalagi dengan perubahan sistem semester, sebagian mahasiswa dan dosen ada yang pro dan ada pula yang kontra.

Di kalangan mahasiswa, kelompok yang mendukung menyampaikan bahwa dengan adanya sistem internal assesment (mid semester), mahasiswa pelan-pelan bisa mengumpulkan nilai. Dengan cara ini, peluang gagal dalam satu mata kuliah dan harus menunggu ujian satu tahun lagi bisa dihindari.

Vina Ajinata, alumni India asal Indonesia, menilai bahwa sistem ujian seperti ini cukup bagus untuk mahasiswa asing. Menurutnya, secara tidak langsung mahasiswa dituntut untuk benar-benar menguasai bahasa inggris dengan baik, termasuk dalam menulis.”Tidak mungkin kita bisa menulis sebanyak 30 halaman dalam waktu yang terbatas tanpa mempunyai kemampuan bahasa inggris yang baik” pendapatnya.

Adapun Mahmud, mahasiswa asal Syiria, berpendapat bahwa sistem ujian seperti ini menuntut mahasiswa untuk mempunyai persiapan yang betul-betul matang. Menurutnya, ”Jika tidak menyiapkan diri dua atau tiga bulan sebelum ujian, tentu peluang gagal sangat besar”.

Sementara kelompok yang menentang memandang bahwa sistem ujian di India hanya membentuk mahasiswa menjadi robot. Mereka tidak bisa leluasa melakukan aktifitas selain hanya fokus belajar dan ujian saja. ”Padahal masa depan kita lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan dalam berkreasi untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik” komentar Erina, mahasiswa asal Kazakhtan.

Lebih lanjut ia menilai bahwa tidak jarang, mahasiswa pun menghadapi stres baik sebelum, pada saat ataupun setelah ujian. Stres sebelum ujian karena banyaknya bahan yang harus disiapkan, stres pada saat ujian karena singkatnya waktu yang hanya 3 jam untuk menulis jawaban sekitar 30 halaman, dan stres setelah ujian karena tidak jarang label failed (gagal) dalam lembar pengumuman, memupus harapan mahasiswa. Belum lagi sistem penilaian di India terkenal ”pelit”.

Pada akhirnya, ”Ujian tidak lagi menjadi sarana pembelajaran akan tetapi justru menjadi tekanan. Mahasiswa tidak lagi bisa berfikir secara jernih dan merefleksikan pemikiran mereka, melainkan hanya sekedar menghafal”, ujarnya bersemangat.

Pro kontra di kalangan dosen pun terjadi. Meskipun sebagian besar mendukung dengan alasan bahwa hal sistem ujian seperti ini bisa meningkatkan motivasi belajar dan kualitas mahasiswa. Akan tetapi kelompok yang menentang sistem ujian ini menilai bahwa materi yang selama ini diselesaikan dalam waktu satu tahun, tidak logis untuk disajikan hanya dalam satu semester.

Dengan sistem ini, dosen hanya fokus dengan kegiatan mengajar dan kurang bisa leluasa melakukan berbagai kegiatan seperti penelitian, menulis atau mengikuti berbagai kegiatan pengembangan kapasitas mereka lainnya. Pada akhirnya, dosen juga kurang maksimal dalam menyampaikan materi dengan informasi terkini. Apalagi sistem kuliah di India menuntut dosen untuk mengajar satu mata kuliah, paling tidak empat kali dalam satu minggu.

Menurut S.R Muneem Pasha, ”Ujian yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas mahasiswa, justru menjadi kotraproduktif. Kenyataan bahwa banyak mahasiswa menilai bahwa ujian itu sendiri dinilai lebih penting daripada proses pendidikan itu sendiri”. Ia memberikan contoh bahwa tidak sedikit mahasiswa yang bertindak curang pada saat ujian. Pada akhirnya, kemampuan kognisi juga menjadi lebih dipentingkan daripada kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup ke depannya.

Lebih dari itu, dengan ujian semester, dosen tidak bisa dengan maksimal memberikan koreksi hasil ujian mahasiswa. Jika pun mereka melakukannya dengan baik, maka hal tersebut membutuhkan sangat banyak waktu dan konsentrasi. Karena itu pula, pada sistem semester, mahasiswa tidak bisa komplain dengan seberapa jelek pun nilai yang mereka dapatkan.

Hal ini juga tidak jarang merugikan bagi mahasiswa yang sudah maksimal berusaha, hanya saja mengalami ”nasib kurang beruntung” karena kesalahan atau kurang maksimalnya dosen dalam mengkoreksi lembar jawaban mereka. Hal ini mungkin terjadi karena selain banyaknya lembaran yang harus diperiksa, pada saat mengkoreksi jawaban, dosen tidak mengetahui dengan pasti pemilik lembar jawaban tersebut. Pada saat ujian, mahasiswa hanya diminta untuk menulis nomer ujian saja.

Kesan Mahasiswa

Berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan ujian semester ini, maka Sukriya melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan alumni kampus-kampus India, baik mahasiswa Indonesia, mahasiswa India, dan mahasiswa asing lainnya di sela-sela kesibukan mereka.

Menghadapi sistem ujian seperti ini, Ahmad Buchari Husaini, mahasiswa B.A Political Science, Agra University, menilai bahwa kuliah yang sebenarnya di India adalah pada saat ujian. Dengan tingkat kesulitan ujian yang memerlukan persiapan maksimal, ia berpendapat bahwa mahasiswa harus betul-betul banyak membaca, dan tentu saja harus menjaga kesehatan. “Persiapkan kesehatan, jangan sampai sakit. Makan makanan begizi, olahraga dan jangan sampai tidur terlalu larut”, terangnya.

Sementara Rahantulloeva Gulnora, mahasiswa M.A International Relations, JNU, asal Tajikistan, menyampaikan bahwa menghadapi sistem ujian di India, mahasiswa asing harus benar-benar mempunyai kemampuan bahasa inggris yang baik, ”Sebagai mahasiswa asing, jika bahasa inggris kita tidak bagus tentu akan beresiko sekali. Peluang gagal pada saat ujian sangat besar”, paparnya. Kenyataannya memang tidak sedikit mahasiswa asing yang harus pulang kembali ke negara mereka dikarenakan keterbatasan berbahasa inggris ini.

Nihan Hasan, mahasiswa India, alumni B.A Political Science, Delhi University menyampaikan bahwa karena banyaknya jumlah halaman yang harus kita tulis, maka upayakan untuk menggarisbawahi poin-poin penting dalam jawaban kita. ”Dengan cara begini, dosen akan lebih mudah untuk mengoreksi jawaban kita sehingga kita pun bisa mendapatkan hasil yang maksimal”.

Anwar, mahasiswa asal Irak, Ph.D Electrical Engineering, Jamia Millia Islamia, menyampaikan bahwa sebenarnya ujian di India tidak terlalu sulit, asal kita rajin mempelajari semua materi dan soal-soal tahun dan semester sebelumnya. ”Hal ini sangat membantu kita, karena sebenarnya pola soal tidak jauh berbeda, dan paling tidak kita akan terbiasa menulis essay dengannya”.

Hal ini pula mengapa, Asep Syamsuddin, mahasiswa M.A Literature, Delhi University menyampaikan bahwa untuk sukses ujian di India, maka kita perlu memperbanyak membuat latihan essay di rumah. Topik-topik yang dibuat disesuaikan saja dengan silabus mata kuliah. ”Berdasarkan pengalaman dari mahasiswa-mahasiswa sebelumnya, saya mendapatkan tips agar sebelum ujian, mahasiswa hendaknya belajar menulis essay secara intensif”, paparnya.**

Leave a Response