Menumbuhkan Sikap Ihsan

Segala puji bagi Allah ta’ala yang masih memberikan kesempatan umur kepada kita sehingga bisa kita isi dengan taubat dan ketaatan. Segala puji bagi Allah ta’ala yang juga telah menutup banyak aib yang pernah kita lakukan.

Muhammad Ibnu Wasi’ pernah mengatakan,

لو كان للذنوب ريح ما قدر أحد يجلس إلى

Jika saja dosa itu mempunyai angin, maka tidak ada seorang pun yang akan mau duduk bersamaku.

Suatu pengakuan yang tulus bagaimana kita perlu melihat berbagai kekurangan dalam diri kita untuk diperbaiki. Jangan sampai muncul kesombongan dalam diri. Apalagi sampai merasa lebih baik daripada orang lain.

Aun bin Abdillah rahimahullah pernah mengatakan,

كفى بك من الكبر أن ترى لك فضلا على من هو دونك

Berhentilah engkau dari kesombongan, yaitu melihat dirimu lebih utamanya dari orang lain.

Kita perlu sekali untuk merenung. Bekal apa yang sebenarnya sudah kita siapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian kita. Apakah kita sudah mengisi sisa hidup ini dengan ketaatan dan meninggalkan semua kemaksiatan, ketika dilihat manusia atau pun tidak.

Jangan-jangan selama ini kita hanya terlihat baik ketika berada di hadapan manusia, tetapi berani bermaksiat ketika hanya Allah yang mengawasi. Padahal, sungguh kita begitu membutuhkan sifat ihsan dalam hidup ini. Perasaan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah ta’ala.

Suatu hari ketika ditanya oleh malaikat Jibril tentang ihsan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك

Ikhsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu (HR.Muslim)

Dengan ikhsan, seorang hamba seakan melihat Allah dengan hatinya, dikarenakan hatinya yang bercahaya, penuh dengan keimanan dan jauh dari kemaksiatan. Ada ketakutan dalam dirinya jika ia melakukan sesuatu yang tidak diridhoi oleh Allah ta’ala, meskipun nafsu dan syaithan selalu mendorongnya untuk melakukan hal tersebut.

Maka mereka yang mempunyai sifat ikhsan akan merasakan bahwa Allah ta’ala selalu mengawasinya. Inilah yang membuat ia tidak lagi menggantungkan diri pada manusia. Ia melakukan atau meninggalkan sesuatu hanya karena Allah ta’ala.

Lagi pula ketika akan melakukan dosa, maka ingatlah bahwa dosa tersebut hanya akan menyebabkan kesempitan dalam diri kita. Allah ta’ala berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى * وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً

Siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan celaka. Dan siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka baginya penghidupan yang sempit (Q.S. Atthoha: 123-124)

Para ulama menjelaskan bahwa di antara kesempitan tersebut adalah kesempitan di dada, kesempitan dalam mencari harta, kesempitan di dalam rumah, kesempitan dalam bermuamalat, dan kesempitan dengan kesusahan melakukan ketaatan kepada Allah ta’ala.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam,

إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه ولا يرد القدر إلا الدعاء ولا يزيد العمر إلا البر

Sesungguhnya diharamkan rezki bagi seseorang karena dosa yang dilakukannya, dan tidak berubah takdir kecuali dengan doa, dan tidak bertambah umur kecuali dengan kebaikan (HR. Ahmad)

Kesempitan yang luar biasa adalah ketika seseorang menjadi kesulitan dalam melakukan ketaatan dan tidak lagi mengenali kebenaran karena maksiat yang dilakukan. Syufyan Atsauri pernah mengatakan,

حُرمت قيام الليل لخمسة أشهر بذنب أصبته

Aku tidak bisa melakukan sholat malam selama lima bulan karena dosa yang kulakukan.

Tahukan kita apa dosa yang dilakukan beliau rahimahullah?. Ternyata pernah suatu hari beliau berjalan bersama temannya, kemudian menemukan ada orang yang selalu berbicara, maka di dalam hadits ia mengatakan, ini orang yang riya’.

Hanya dengan perasangka yang jelek saja akibatnya sudah seperti itu. Maka bagaimana lagi dengan dosa-dosa yang kita lakukan?. Dengan tangan, kaki, telinga, lisan, atau pandangan kita yang tidak terjaga.

Ibrahim bin Adham mengatakan,

كثرة النظر إلى الباطل تذهب بمعرفة الحق من القلب

Banyak melihat sesuatu yang batil akan menghilangkan pengenalan terhadap kebenaran dalam hati.

Jika diteruskan maka kita pun akan menjadi budak syaithon yang mana ia pun akan diminta untuk senantiasa melakukan kemaksiatan tadi. Hal ini menyebabkan ia sulit keluar dari kemaksiatan yang dilakukannya. Sahl bin Ashim pernah mengatakan,

عقوبة الذنب الذنب

Balasan bagi dosa adalah dosa.

Demikian juga dengan berbagai kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, semua dikarenakan sudah hilangnya rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah ta’ala.

Adapun sebaliknya, mereka yang senantiasa dalam ketaatan kepada Allah
ketika manusia tidak melihatnya, insyaAllah akan diberikan cahaya di wajah dan hatinya.

Semoga Allah ta’ala mengaruniakan kepada kita sifat ihsan sehingga selalu dalam ketaatan dan terhindar dari kemaksiatan. Aamin.

Trento, 31 Januari 2015
Akhukum Fillah, Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Meraih Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Ilmu Hubungan Internasional UGM, M.A Political Science, Jamia Millia Islamia, dan M.A International Relations, Annamalai University, India. Menyelesaikan jenjang PhD Political Science dari International Islamic University Malaysia. Belajar agama dari beberapa ustadz ketika sedang studi di Yogyakarta, Malang dan India. Bekerja sebagai Professor di Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Response