Renungan Dipenghujung Malam

Pernahkah diri menjadi penghuni kesunyian malam. Menjadi sosok bersama waktu yang mengalir. Merunduk sembari menangis merenungi jiwa. Telah berlalu banyak penduduk bumi dan semua telah tiada. Kemudian kita diciptakan sebagai orang yang tidak mengetahui apa – apa.

Waktu yang bergulir membentuk diri menjadi semakin dewasa. Masa lalu tidak terasa, tiba – tiba kita telah berada di ambang usia. Ingat pikiran apa yang telah kita lakukan. Jiwa selalu digali dan ditanya. Bagaimana diri.

Namun sayang, malu. Tidak banyak yang dilakukan untuk kebaikan. Tidak ada perencanaan. Waktu yang begitu banyak terhempas dan menyisahkan keraguan, benarkah kita sedang hidup di alam nyata.

Kesalahan dan dosa telah menjadikan diri lalai. Kesenangan semu menunjukkan bagaimana lemahnya diri menghadapi godaan nafsu.

Malam. Adalah saat ketika diri ingin berbicara dengan jujur, mendengarkan suara hati. Ketika diri berusaha mencari ketenganan jiwa. Namun tidak banyak yang dapat merasa.

Hati telah begitu keras dengan karat. Cahaya tidak cukup kuat menembus relungnnya. Diri yang begitu kuat menginginkan keimanan yang sempurna telah menjadi pribadi tanpa arah.

Tiba – tiba kesenangan semu itu berakhir. Yang ada hanyalah penyesalan. Mengapa diri begitu buta. Sudah jelas dosa membawa gelisah, tak kuat juga jiwa melawannya.

Di malam yang sepi, sesosok makluk menangis. Ia mencari ketenangan. Mengharap pengampunan. Telah banyak dosa dan kesadaran secara berulang yang dibangun. Lagi- lagi benturan begitu kuat membuat kutuk untuk diri sendiri.

Maka berjanjilah dengan niat yang kuat, bahwa diri tak kan pernah lagi mengulangi. Keindahaan kan kau dapatkan dengan segala kesungguhan. Tangis bukan lagi dengan air mata. Batin hati yang bicara. Irisan yang kuat membawa diri ke sorga yang tidak dapat diceritakan.

Marilah sahabatku. Bergabung kita dalam cinta. Kesunyian yang jauh dari keluh kesah. Ketika jiwa terduduk mengikuti tubuh yang baru saja mati. Dalam perenungan. Mengartikan hidup. Berfikir kalau saja tiba waktunya.

Ketika itu maka tiada lagi berguna penyesalan. Jiwa hanya bisa merintih kesakitan. Sebagian besar malam telah dihabiskan untuk kematian. Dan siang pun telah dibunuh dengan ketidakpercayaan. Ia begitu yakin dengan usaha diri sehingga melupakan bahwa Allah maha besar. Allah maha kasih dan pengatur segala rezeki.

Manusia sudah mulai bergerak menggeliatkan tubuh. Pagi menggantikan kesunyian. Berbagai kesibukan manusia sudah merenggut segenap perhatian. Kegelisahan mereka yang kehilangan hati sudah memanggil.

Oh jiwaku….oh jiwaku….semoga Allah selalu memberikan cahaya-Nya agar diri selalu dalam kebenaran. Dalam cahaya dan naungan cinta. Renungan berakhir!!!! (Yogyakarta, Maret 2005)

Leave a Response