Hakikat Pendidikan

Apakah hakikat pendidikan? pertanyaan ini patut didengungkan kembali, minimal dalam pemikiran masing-masing. Di era ini, istilah pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan sekolah.

Ketika statemen tersebut disepakati berarti sama halnya dengan mengatakan bahwa yang tidak bersekolah sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan.

Sementara sejarah membuktikan bahwa cukup banyak orang pintar yang tidak menempuh pendidikan formal, kecuali sebatas datang ke rumah orang-orang pandai yang mereka sebut guru, atau belajar otodidak karena sekolah formal seperti sekarang ini belum ada.

Ketika muncul konsep pendidikan formal, sekolah menjadi lembaga yang diminati banyak orang karena konsepnya cukup bagus sebagai upaya percepatan dan pemerataan mutu pendidikan.

Akan tetapi ketika dijadikan sebagai keharusan yang pada akhirnya menghilangkan kreativitas berfikir mandiri, maka besar peluang terjadi goncangan dalam masyarakat, meski masih tergantung bagaimana masing-masing pribadi mamaknainya. Hanya saja pemahaman yang salah dominan melanda mereka.

Seorang teman penulis pernah berpendapat, ”kan sudah lain zamannya, yang pintar tapi tidak sekolah zaman dulu adalah orang yang berpendidikan, tapi sekarang tidak”. Arti dibalik permainaan kata ini wajib dicurigai. Jangan-jangan menjadi senjata kapitalisme modern.

Masyarakat menilainya sebagai sesuatu yang baik, padahal merupakan hal yang telah merusak tatanan sosial. Semuanya diharuskan sekolah, dan pada akhirnya manfaat sekolah itu sendiri tidak lagi dapat ditemukan karena dalam setiap jiwa telah terikat suatu kesepakatan yang tidak dirundingkan bahwa orang yang sekolah tapi bodoh lebih baik keberadaannya daripada orang yang pintar tapi tidak sekolah.

Buktinya saja setiap melamar pekerjaan di tempat-tempat bergengsi pastilah pertanyaan lulusan apa dan dari mana menjadi mainstream yang sangat menentukan. Ketika ia gugur pada posisi ini maka kecil peluang mereka untuk menempati posisi strategis, bahkan ada beberapa instansi/perusahaan yang menolak mentah-mentah dengan menjatuhkannya pada persyaratan pelamar.

Tamatan SD dan SLTP biasanya hanya ditempatkan sebagai pesuruh dan sejenisnya. Tamatan SMA bisa sedikit lebih layak, begitu seterusnya.

Yang memperihatinkan adalah kenyataan bahwa banyak sarjana yang menjadi penganguran ataupun kalau bekerja tidak pada tempat selayaknya sebagai seorang sarjana meskipun memang tidak ada kesepakatan umum bahwa sarjana harus berada pada posisi yang strategis (sesuai dengan kedudukan mereka sebagai sarjana yang telah sekian banyak menghabiskan biaya dan waktu).

Bahayanya logika berfikir ini tertanam kuat dalam paradigma berfikir masyarakat. Mereka akhirnya percaya bahwa sekolah sebagai satu-satunya lembaga yang akan menghasilkan orang-orang pintar. Dan pemaknaan akan orang pintar itu sendiri tidak mendasarkan pada kreativitas mereka untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.

Budaya dan pemahaman bahwa pendidikan ada dimana-mana menjadi kabur. Kerangka yang menjadi acuan cerdas tidaknya seseorang hilang dibalik angka/hurup. Siapa yang pintar adalah mereka yang baik nilainya.

Muncullah fungsi sekolah/kampus yang hanya memfokuskan diri pada pengembangan hard skill(kemampuan akademis). Sementara soft skill (kemampuan non akademis) tidak menjadi bagian dari kurikulum karena telah dipercayakan kepada berbagai lembaga organisasi yang ada dan masyarakat. Padahal bagian terbesar yang dibutuhkan oleh mereka yang akan terjun ke masyarakat adalah kemampuan non akademis.

Logika tersebut bisa diterima ketika muncul persepsi yang sama tentang hakikat pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan lima unsur pribadi manusia yaitu jasmani, rohani, intelektual, estitika dan sosial secara seimbang.

Hal itu belum cukup tanpa adanya media yang mendapatkan perhatian optimal dari semua pihak terutama mereka yang berhubungan langsung dengan dunia pendidikan. Masyarakat sebagai pengontrol, mahasiswa/siswa sebagai penggerak, dan pihak sekolah sebagi fasilitator.

Masalah seberapa perlukah suatu keahlian dimiliki oleh siswa atau mahasiswa dapat dilihat dari seberapa besarkah tuntutan lingkungan akan kemampuan tersebut.

Namun demikian meskipun hal ini sebagai suatu upaya perbaikan mutu pendidikan di sekolah/kampus tidak berarti bahwa keberadaan sekolah yang terlalu dominan dilegalkan begitu saja. Yang harus menjadi bahan standar dalam mengambil segala kebijakan adalah kemanfaatannya dalam hal kualitas, bukan sekedar formalitas.

Seorang tamatan SD yang kemampuannya melebihi seorang sarjana harus dihargai layaknya kualitas mereka. Masalahnya terletak pada ego dan kenyataan bahwa budaya belajar otodidak di tengah masyarakat sangat rendah sehingga hampir mustahil seorang tamatan SD mempunyai kemampuan melebihi seorang sarjana.

Adalah tugas berat untuk mengubah keadaan ini. Semua pihak harus bekerja aktif secara bersama.

Bila ditengah budaya yang kian mengandalkan kepercayaan pada sekolah/kampus ini malah dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis, keinginan meningkatkan mutu pendidikan agar lebih baik patut disangsikan.

Yogyakarta,  Juli 2004

Leave a Response