Masalahku dalam Menulis

Selama ini selalu saja keinginanku untuk menulis kandas di jalan. Saya punya banyak ide dan sudah sejak SMP secara rutin saya tulis, dimana pun, di buku bekas, di kumpulan kertas bekas, bahkan di kardus sekali pun. Dalam sehari saya biasa menulis lebih dari seratus ide.

Setiap kali gerakan tangan menuangkan ide di atas kertas, setiap kali itu juga saya merasakan plong dari setiap beban yang mengganjal.

Saya percaya, menulis adalah cara paling efektif untuk menjadikan hidupku lebih bermanfaat bagi banyak orang. Cukup dengan sekali menulis, maka akan beberapa kali orang membaca tulisanku dalam waktu dan tempat yang berbeda.  Atau paling tidak ide yang saya sampaikan tetap tersimpan.

Sangat berbeda ketika ketika ide tersebut disampaikan dalam bentuk lisan. Waktu dan tempat terbatas pada satu ucapan. Jika kembali diperlukan, maka berarti kembali saya harus menuliskannya.

Rasanya, hal ini membuat hidupku terjebak pada rutinitas yang membunuh waktu. Padahal masih banyak hal lain yang bisa kulakukan.

Tapi tetap saja saya stag dalam menulis. Hal ini mungkin karena saya pernah membaca buku yang mengatakan bahwa seseorang tidak seharusnya buru-buru menulis. Akan lebih baik untuk fokus menuntut ilmu terlebih dahulu, karena kesalahan dalam penulisan akan menjadi kesalahan beruntun bagi dirinya.

Apalagi terus dibaca oleh orang lain. Maka hal itu sama halnya dengan menanam kesalahan. Dan sulit rasanya untuk merevisi kembali dalam artian menemukan semua yang pernah membaca tulisanku untuk mengoreksi kesalahan.

Selain itu, saya sebenarnya juga adalah seorang yang perfectionis. Saya ingin apapun yang  saya tulis bisa menjadi tinta emas yang meninggalkan kebaikan bagi orang lain.

Mungkin karena kesalahanku dalam mengartikan tulisan itu, sehingga saya akhirnya selalu saja merasa tulisanku belum baik. Sampai akhirnya, saya benar-benar berhenti menulis untuk waktu yang lama.

Saya pun sibuk dan terjebak dengan berbagai rutinitas kegiatan dan pekerjaan yang menghadang. Saya yang selama ini bukan tipe pekerja administratif atau pun rutin, akhirnya pelan-pelan ikut menikmati kondisi tersebut.

Sama halnya dengan semangat dan budaya akademik yang kumiliki. Awal meninggalkan Jogja, saya merasa sangat tidak nyaman karena biasanya saya sering bertemu dengan para aktifis dan tokoh-tokoh nasional untuk mendiskusikan berbagai persoalan strategis kebangsaan dengan berbagai analisa yang sangat kaya.

Hanya saja di tempat yang baru, saya kesulitan menemukan suasana serupa. Setiap hari saya lebih banyak bertemu dengan orang-orang yang berpendapat sebatas logika dan kurang bacaan.

Awalnya saya begitu membenci kondisi tersebut, sampai pada akhirnya, saya mulai secara tidak sepenuhnya sadar merasa sudah berada di alam yang lain. Saya mulai menikmati “kesantaian” ini.

Padahal seharusnya mungkin yang dimaksud oleh tulisan dalam buku tadi adalah bahwa tulisan-tulisan kita hendaknya tidak dipublikasikan secara tergesa-gesa, tetapi tetap harus menulis sambil memperbaiki tulisan yang sudah ada.

Jika kita berhenti menulis maka akan sangat sulit untuk kembali menumbuhkan warna khas dalam karya kita. Dan tentu saja kemampuan membaca akan berkurang.

Orang biasanya lebih tertantang untuk membaca ketika ia akan menyampaikan sesuatu kepada orang lain untuk direspon. Jadilah ia “minimal malu” untuk menunjukkan kelemahan dirinya.

Disisi lain jika terus menulis, maka pada suatu saat kita akan bisa mempublikasikan beberapa tulisan dalam waktu yang sama dengan jumlah yang banyak.

Persoalan yang kualami tidak hanya sekedar dalam masalah menulis. Semangatku membaca juga terjun drastis. Kalau dulu waktu SMU saya secara rutin dari kelas satu sampai pertengahan kelas 3 menyelesaikan satu buku dalam satu hari, sekarang satu buku dalam satu bulan pun belum tentu.

Membaca hanya menjadi keperluan ketika ingin mencari suatu persoalan penting saja. Tidak lagi menjadi kenikmatan sebagaimana yang saya rasakan dulu.

Jika sehari saja tidak membaca, rasanya ada yang kurang, tetapi sekarang ketika buku di depan mata, maka kantuk pun menghadang. Entah kenapa, begitu banyak rasanya perubahan yang saya alami.

Di keheningan malam ini, saya mulai berfikir, akankah kehidupan seperti ini terus kualami. Waktu terus berlalu, sementara tidurku kian nyenyak dibandingkan dahulu.

Tidur sedikit saja dulunya cukup bagiku untuk sekedar melepas lelah, tetapi kini terlalu banyak waktu berlalu. Saya merasa seakan telah menyia-nyiakan umur. Untuk apa kuperpanjang tidur, padahal nanti akan ada tidur yang lebih panjang lagi. Untuk apa?

Saya juga sudah melihat bahwa beberapa orang yang saya kenal begitu produktif menulis buku, sementara diriku melewatkan waktu begitu saja. Bahkan mereka menulis tidak selalu dengan cara dan pemahaman yang baik.

Terkadang beberapa pemikiran juga membawa pembaca kepada alam yang menyalahi fitrah akal manusia. Hanya saja mereka berani dan mau menulis. Tidak mungkin saya meneruskan kondisi sekarang. Saya harus segera menulis.

Malang, 25 Februari 2010

Leave a Response