Haruskah Ada Cinta Sebelum Pernikahan?

Beberapa hari yang lalu, ada seorang mahasiswa Eropa yang bertanya tentang apakah saya sudah menikah atau belum?. Saya pun menjawab bahwa saya seorang suami dengan dua orang putri.

Ia pun  sepertinya terlihat kaget mengingat kebiasaan di Eropa, banyak di antara mereka yang menikah setelah memasuki usia lebih dari tiga puluh tahun. Bagi mereka pernikahan adalah persoalan serius yang harus dipersiapkan dengan matang.

Bahkan sempat terlontar olehnya ucapan bahwa “you know that dating as not as like living together”. Makanya dia bilang bahwa menjadi kebiasaan di Eropa adalah mereka akan tinggal bersama terlebih dahulu sebelum memutuskan pernikahan.

Jika merasa ada kecocokan dan cinta, maka mereka akan melanjutkan hubungan tersebut secara resmi. Adapun jika tidak, maka mereka pun akan menghakhirinya begitu saja. Suatu kebiasaan yang tentu tidak sesuai dengan syariat Islam.

Dalam Islam, di ajarkan bahwa pernikahan adalah ibadah. Dalam Islam, pernikahan adalah sarana untuk menghindarkan diri dari dosa. Bukan sekedar untuk melegitimasi kepemilikan kekayaan sebagaimana masyarakat barat.

Berkaitan dengan ini, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menegaskan,

إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي

Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menggenapkan setengah agamanya, dan maka bertaqwalah  pada Allah dengan setengah lainnya (HR Tabrani)

Maka dari hadits ini tidak ada keterangan bahwa pernikahan tersebut harus dimulai dari perasaan cinta terlebih dahulu. Apalagi dimulai dengan hidup bersama yang tentu saja akan menimbulkan dosa. Justru islam ingin menjadikan pernikahan sebagai penyelamat dari syahwat yang tidak syar’i.

Imam Qurtubi mengatakan bahwa di sini terlihat makna pentingnya pernikahan yang akan menyelamatkan seseorang dari perzinahan. Imam Al Ghazali menambahkan bahwa orang yang sudah menikah setidaknya ia akan bisa menyelamatkan diri dari fitnah kemaluan dan perutnya jika ia menikah karena Allah ta’ala.

Meskipun demikian, hadits ini juga bukan larangan bagi mereka yang saling mencintai untuk menikah. Hanya saja penekannya lebih kepada cara yang syar’i. Pernikahan yang lebih didasarkan pada kebaikan agama dan akhlak orang yang akan dinikahi.

Hal ini misalnya juga terlihat dalam sejarah pernikahan Ibunda Khadijah radiyallahu ‘anha dengan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Setelah mengenali karakter dan kemuliaan akhlak Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka ibunda Khadijah pun tertarik untuk menjadi istri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian juga dengan pernikahan nabi Musa ‘alaihi sallam dengan salah seorang putri Nabiyullah Syu’aib ‘alaihi sallam. Lihatlah bagaimana pernikahan itu dibangun karena kemuliaan akhlak dari Nabiyullah Musah ‘alaihi sallam.

Allah ta’ala berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأَمِينُ

Maka salah seorang dari keduanya berkata, wahai ayah, pekerjakanlah ia karena sebaik-baik orang yang bekerja adalah yang kuat dan terpercaya.  (Q.S.Al-Qhosos: 26)

Maka apa yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib alaihi sallam melihat adanya ketertarikan dari sang anak kepada Musa ‘alaihi sallam,

قالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هاتَيْنِ عَلى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِنْدِكَ وَما أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

Sungguh aku ingin menikahkanmu dengan salah satu anaknya, dengan syarat engkau bekerja denganku selama delapan tahun, dan jika engkau mencukupkan sepuluh tahun maka itu darimu dan aku tidak memaksamu. Engkau akan menemukanku insyaAllah dari orang-orang yang sholeh. (Q.S Al-Qhosos: 27)

Demikianlah yang dilakukan oleh Nabiyullah Ayyub ‘alaihi sallam ketika sudah melihat ketertarikan dari anaknya, dan ia tidak ingin terjadi fitnah. Namun tentu pilihannya dijatuhkan kepada lelaki sholeh seperti halnya nabi Musa ‘alaihi sallam.

Maka dari penjelasan di atas terlihat bahwa persoalannya bukan pada adanya cinta atau tidak sebelum pernikahan, tetapi lebih pada bagaimana menjaga cara yang syar’i dan senantiasa berhias dengan akhlak mulia dan islami. InsyaAllah cinta pun akan mendatangi kita. Wallahu ta’ala a’lam.

 

Trento, 12 Februari 2015

Akhukum Fillah, Gonda Yumitro

 

Gonda Yumitro

Gonda Yumitro

Meraih Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari Ilmu Hubungan Internasional UGM, M.A Political Science, Jamia Millia Islamia, dan M.A International Relations, Annamalai University, India. Menyelesaikan jenjang PhD Political Science dari International Islamic University Malaysia. Belajar agama dari beberapa ustadz ketika sedang studi di Yogyakarta, Malang dan India. Bekerja sebagai Professor di Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Response