Mencari Bidadari

Tulisan ini saya buat beberapa bulan sebelum saya menikah dan masih belum tahu dengan siapa hati ini akan berlabuh (untuk mencari pasangan hidup di dunia dan akhirat insyaAllah). Dan Alhamdulillah, semoga kami dan teman2 yang membaca semua bisa istiqomah di jalan kebenaran dan dikaruniakan oleh Allah keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, Amin…

“Ingin sekali aku menikah. Semoga Allah segera mengaruniakan kepada hamba pasangan yang sholehah yang siap menjadikan sepenuh hidupnya untuk mencintai Allah SWT.”

 

Tanpa sadar setelah menulis kalimat di atas saya tertidur, bahkan tanpa sempat mematikan laptop. Keesokan harinya kemudian setelah sholat subuh kembali kubaca tulisan itu, kemudian menulis. Ingin, bahkan sangat ingin sekalai saya menuangkan segala rasa di hati.

Saya tidak tahu, mungkin inilah bagian dari fitrah manusia. Di usia yang 6 bulan lagi mencapai 23 tahun, saya semakin merasakan pentingnya seorang yang mampu berbagi.

Yang bisa saling menguatkan dalam susah dan senang. Yang mampu memberikan dukungan sepenuhnya dengan sepenuh idealisme yang kujunjung.

Saya ingin keluarga saya begitu mencintai dunia pendidikan dan da’wah. Setidaknya dari sekian lama pergulatan yang selama ini saya alami, disanalah saya menemukan makna hidup yang sesungguhnya dan menenangkan.

Saya pernah bekerja di bank, ditawari di beberapa perusahaan besar, bahkan menjadi birokrat. Namun semua rasanya tidak memuaskan dahaga, kecuali saya senantiasa bisa menuntut ilmu dan mengajarkannya.

Itulah yang menjadi alasan mengapa saya lebih memilih menjadi seorang dosen, yang beberapa teman mengartikannya, “ngomong sak dos, gaji sak sen”.

Atas keyakinan bahwa rejeki semuanya sudah diatur oleh Allah, saya menguatkan tekad untuk senantiasa istiqomah menjalani profesi sekarang. Saya yakin bahwa sumber rejeki tidak mesti hanya dari hasil mengajar saja, sebagaimana yang saya terima dalam slip gaji.

Jika kita yakin dan senantiasa berusaha pasti Allah akan membukakan pintu rejeki dari berbagai sumber yang lain. Yang penting adalah saya terus berusaha melakukan yang terbaik (dalam hal ini agar bisa berbagi ilmu dengan teman-teman mahasiswa dengan cara yang lebih baik), dan berusaha menjadi lebih baik serta bertawakal dan memohon kepada Allah agar diberikan hasil yang terbaik.

Hal ini nyata sekali dan saya melihat dan mendengar banyak pengalaman serupa. Beberapa orang sudah bercerita tentang bagaimana mereka menjalani hidup yang pada awalnya begitu susah.

Kemudian tanpa pernah bisa dihitung secara matematika semua berlalu. Allah membalas semua kerja keras dan kesabaran mereka. Syaratnya memang bahwa kita harus yakin, sabar, dan senantiasa dalam ketaatan pada Allah.

Tidak mungkin Allah menelantarkan nasib hambanya yang beriman, sementara orang-orang kafir saja mendapatkan bagian.

Yang sering terjadi bahwa manusia bersifat tergesa-gesa sehingga ingin segera melihat hasil usahanya. Padahal kadang Allah menangguhkan sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya atau mengganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik bagi hamba-Nya tersebut.

Dalam bidang ilmu pengetahuan misalnya, tentulah seorang dosen dalam ukuran masyarakat Indonesia yang kata orang belum terlalu menghargai orang pintar dan jujur, tidak mudah untuk tiba-tiba mapan secara ekonomi. Butuh proses yang panjang.

Seorang dosen, guru, atau siapapun yang menekuni dunia pendidikan, harus senantiasa mematangkan ilmu yang ia miliki. Hingga pada suatu saat nanti ia mulai merasakan hasilnya.

Penghargaan bukan lagi dari Negara, melainkan masyarakat yang secara hukum alam memang membutuhkan seorang yang cerdas dan mampu membantu mereka menyelesaikan sekian banyak persoalan yang dihadapi.

Bagi saya, professional dalam bidang pekerjaan saja tidak cukup. Lebih dari itu, sebagai seorang muslim saya sangat ingin memahami agama ini dengan baik. Mampu membina keluarga, bahkan masyarakat secara Islami.

Saya sangat ingin pada suatu hari, kami di rumah bersama keluarga saling menguatkan untuk memahami agama ini. Ada kajian-kajian ilmu yang bisa membuat kami semua semakin dekat dengan Allah.

Saya juga ingin anak-anak saya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Mereka berbakti kepada orang tua. Memahami peran mereka sebagai hamba Allah, dan bagian dari masyarakat luas.

Saya ingin anak-anak saya hapal Alqur’an dan mempunyai pendidikan dan pemahaman agama yang jauh lebih baik daripada kami pribadi.

Saya ingin keluarga kami menjadi syuhada’. Kami menjadi kumpulan orang yang mampu mengabdikan sepenuh hidup hanya untuk Allah semata. Bukan berlebihan, tetapi tentunya dengan pemahaman bahwa semuanya butuh proses.

Demikian cita-cita saya. Saya sadar bahwa semua tidak bisa diraih sendirian. Butuh kerjasama. Butuh penguat hati. Sahabat yang mampu saling mengingatkan ketika salah dan lemah. Butuh teman mengatur semua rencana.

Dan orang yang paling tepat dan paling dekat adalah istri. Seorang wanita sholehah yang mencintai saya karena Allah.

Sosok yang tidak hanya ingin bersama dikala senang tetapi juga susah. Bidadari yang tidak hanya ingin bersama di dunia, tetapi menjaga dan berjuang untuk tetap bersama di sorga Allah.

Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba berserah. Hamba mohon, pertemukanlah kami dalam sebaik-baik keadaan. Dan persatukanlah kami untuk saling mencintai karena-Mu.

Malang, 8 Januari 2008

Leave a Response